Who Embraces AI? Mereka yang Paling Tak Tahu Apa-Apa
Di tengah keramaian jargon “transformasi digital” dan “inovasi eksponensial,” ada satu ironi yang begitu lezat untuk dinikmati: teknologi paling canggih abad ini justru paling cepat dipeluk oleh mereka yang... tidak begitu paham teknologi itu sendiri.
Ya, Anda tidak salah baca. Sementara para insinyur dan pemuja prompt engineering sibuk berdebat soal bias model, hallucination, atau parameter 175 miliar, para pengguna awam—yang mengira “AI” mungkin kepanjangannya “Aduh Ini-apaan”—justru melompat duluan, bahkan sebelum melihat apakah ada jaring pengaman di bawahnya.
Kebodohan yang Mempesona
Dalam tujuh studi melibatkan ribuan partisipan di Amerika Serikat, para peneliti menemukan pola yang cukup menggelitik: semakin rendah literasi seseorang tentang AI, semakin besar minatnya untuk memakai teknologi itu.
Dalam satu percobaan, 234 mahasiswa diberi tes literasi AI. Setelah itu, mereka ditanya apakah mereka akan menggunakan AI untuk mengerjakan tugas kuliah—dari sekadar merumuskan ide sampai memberikan mandat penuh kepada chatbot untuk menulis seluruh esai.
Hasilnya?
Mahasiswa yang paling buruk nilai tes literasinya adalah mereka yang paling
rajin siap meng-outsourcing-kan tugas ke algoritma. Baik itu makalah Perang
Dunia I yang penuh rujukan maupun puisi romansa penuh metafora, AI menjadi
“teman seperjuangan” yang tak perlu dipahami, cukup dipakai.
Inilah paradoksnya: mereka paling tidak mengerti dalaman teknologi justru paling percaya diri menyerahkan intelektualitasnya pada mesin. Ibarat naik roller coaster tanpa tahu itu bisa mogok—karena, yah, selama meluncur terasa menyenangkan.
Takut, Meragukan, Tapi Tetap Memakai
Studi lanjutan menunjukkan paradoks lain yang tak kalah menarik. Orang dengan literasi AI rendah cenderung menilai AI “kurang mampu” dan “kurang etis”—dan tetap lebih antusias memanfaatkannya.
Mengapa?
Karena mereka adalah kelompok yang paling mudah terpukau. Efek “wah”-nya lebih
besar. Kemampuan AI menciptakan ide, draft tulisan, hingga karya kreatif dari
“udara kosong” dianggap seperti sulap: tanda bahwa teknologi ini bukan sekadar
alat, tetapi semacam voodoo digital yang pantas dicoba.
Sementara itu, mereka yang paham persis cara AI bekerja justru melihat lapisan-lapisan ketidaksempurnaan: bias data, risiko misinformasi, kecenderungan meleset. Pengetahuan membuat mereka lebih selektif—bahkan sinis.
Orang awam terpesona oleh magia; para ahli sibuk memeriksa kabel di belakang panggung.
Ketika Pengetahuan Justru Mengikis Antusiasme
Penelitian ini menampar asumsi lama dunia teknologi: bahwa edukasi selalu meningkatkan adopsi. Ternyata tidak. Dalam kasus AI, semakin seseorang tahu, semakin kecil kemungkinan ia akan memeluknya tanpa syarat.
Pengetahuan membuat pengguna penuh pertanyaan.
Ketidaktahuan membuat pengguna penuh keberanian.
Seperti kata pepatah lama: sedikit pengetahuan berbahaya, tetapi dalam konteks AI, sedikit ketidaktahuan justru memicu rasa ingin mencoba.
Sebuah Cermin untuk Masa Depan
Fenomena ini membuka satu kenyataan pahit sekaligus lucu: AI mungkin tidak akan diadopsi paling cepat oleh orang-orang yang memahaminya, melainkan oleh mereka yang merasakan manfaat langsung tanpa peduli apa konsekuensinya.
Ini bukan hanya soal teknologi, tetapi soal psikologi. Manusia menyukai keajaiban lebih daripada penjelasan. Kita memuja hasil akhir, bukan proses. Dan AI, dengan segala kesempurnaannya yang rapuh, menawarkan ilusi kemudahan yang memikat banyak orang sebelum mereka sempat bertanya bagaimana semua itu bekerja.
Paradoks ini akan membentuk lanskap masa depan: adalah mereka yang paling sedikit tahu yang akan pertama kali memimpin parade eksperimen, sementara para ahli—dengan akal sehat dan kehati-hatian berlebihan—justru berjalan paling belakang, memastikan kerusakan yang mungkin terjadi.
Pada akhirnya, AI mungkin tidak menakutkan. Yang menakutkan adalah seberapa cepat kita mempercayai sesuatu yang bahkan tidak kita pahami.
Tapi kalau keajaiban digital ini membuat hidup lebih mudah, mengapa tidak? Lagipula, seperti kata mahasiswa yang menyerahkan tugas puisinya kepada mesin, “Yang penting jadi.”