Ketika Tradisi Tim Berbalik Menampar: Ritual Korporat yang Mulai Kehilangan Akal Sehat
Di dunia korporat yang penuh jargon tentang “kebersamaan” dan “budaya perusahaan,” tradisi tim sering dirayakan layaknya mantra sakral. Ada team cheer sebelum rapat penting, onboarding penuh gimmick, sampai pesta akhir tahun yang anggarannya bisa membuat satu divisi gigit jari. Semua itu diklaim sebagai lem perekat budaya: makin banyak ritual, makin kuat loyalitas.
Sayangnya, ritual—seperti kopi gratis di pantry—tetaplah sesuatu yang harus dikonsumsi dengan takaran. Dan riset terbaru justru menunjukkan bahwa ketika tradisi tim berubah dari yang sederhana menjadi pertunjukan megah nan kompleks, manfaatnya mulai tergerus. Atau, dalam istilah manajemen: ROI emosionalnya menurun tajam.
Upacara, Tepuk Tangan, dan Ketidakjujuran Bersama
Dalam studi baru, para peneliti meminta partisipan di AS menceritakan pengalaman mereka mengikuti ritual korporat yang lebih “berat”—mulai dari offsite tahunan, acara onboarding penuh simbol, penghargaan karyawan, sampai pesta hari raya.
Hasilnya mirip seperti testimoni alumni OSPEK kantor:
- Ya, ada koneksi sosial, suasana ceria, energi positif, dan tentu saja—yang selalu jadi juara—makanan gratis.
- Tapi di balik itu ada daftar keluhan yang tak kalah panjang: acara menyita jam kerja, harus hadir meski punya urusan pribadi, dan—yang paling sering muncul—ritual yang mendorong ketidakautentikan.
Banyak peserta menyebut acara-acara ini membuat mereka merasa seolah sedang memainkan peran dalam sitcom korporat: ikut tertawa, ikut foto bareng, ikut yel-yel yang tak pernah mereka yakini. Bahkan sebagian merasa lebih “tidak dihargai” setelah pulang, seperti manusia yang sedang dipaksa menikmati hiburan yang tidak mereka minta.
Ketika Pesta Malah Membuat Karyawan Pindah Haluan
Peneliti kemudian menelusuri dampak jangka panjang dari ritual-ritual ini. Dari AS sampai Jerman, hasilnya konsisten:
- Jika pengalaman karyawan positif, efeknya lumayan menggembirakan. Mereka lebih terlibat, lebih ramah ke rekan kerja, lebih optimistis tentang perusahaan, dan bahkan menurunkan keinginan untuk mencari pekerjaan baru.
- Tapi jika pengalaman yang mereka kumpulkan kebanyakan negatif, seluruh manfaat itu lenyap begitu saja. Seperti lampu panggung yang mati setelah pesta selesai.
Dengan kata lain, ritual kompleks itu sifatnya high-risk,
high-reward.
Jika gagal—atau sekadar membosankan—ia bukan sekadar tidak membantu, tetapi
bisa berbalik menghantam budaya perusahaan.
Ketika Lokasi Mewah Tak Cukup Menyembuhkan Rasa Kesal
Ini memberikan pesan penting bagi para petinggi HR yang senang merancang acara di resort mahal atau gedung yang instagramable. Peneliti memberi peringatan yang tajam: terlalu mudah terpukau pada lokasi kece, dekor menawan, dan suasana fun yang fotogenik. Padahal yang menentukan keberhasilan justru jauh lebih sederhana—dan lebih sulit: minimalkan pengalaman negatif.
Alias, jangan membuat karyawan merasa:
- Terpaksa datang.
- Harus mengorbankan waktu pribadi.
- Pura-pura bahagia.
- Dan tentu saja, jangan membuat mereka membatin, “Mending dikasih bonus saja.”
Jika itu terjadi, semua dana, energi, dan jam lembur panitia akan berujung nihil. Zonk. Tidak ada dampak keberlanjutan, tidak ada peningkatan engagement, hanya postingan Instagram yang terlupakan.
Ritual atau Rayuan?
Ritual sejatinya bekerja ketika ia ringan, organik, dan memberi makna. Masalahnya, korporasi kerap terlampau rajin meng-upgrade semuanya menjadi spektakel. Seolah-olah budaya perusahaan bisa dibeli dengan konfeti, backdrop LED, atau ice-breaking yang dipelajari dari video YouTube.
Studi ini mengingatkan kita bahwa ritual besar yang gagal bisa menjadi bumerang. Tradisi yang dimaksudkan untuk memperkuat loyalitas malah membuat sebagian karyawan memikirkan exit plan sembari menikmati kudapan gratis.
Pada akhirnya, pertanyaannya sederhana:
Apa tujuan acara—menyambung kebersamaan atau sekadar menutupi retak budaya
internal dengan glitter dan sound system mahal?
Karena seperti yang diam-diam diketahui semua karyawan: tidak ada ritual sebesar apa pun yang bisa memperbaiki budaya kerja yang buruk. Namun satu acara yang salah urus bisa membuat karyawan sadar bahwa budaya perusahaan yang katanya hangat itu, rupanya hanya sedingin ruangan ballroom hotel pada pukul sebelas malam saat MC sudah pulang.
