Ketika Musik Mengasah Fokus—Lalu Menggerogotinya Pelan-Pelan
Kita hidup di era noise-cancelling headphone dan playlist “deep focus” yang dipuja layaknya jimat produktivitas. Musik dipercaya sebagai doping yang legal, higienis, dan tidak menimbulkan rasa bersalah. Di kantor-kantor kota besar, orang bekerja dengan earphone tertanam seperti organ tambahan. Kita beranggapan: selama ada musik, otak akan otomatis lebih tajam.
Tapi seperti banyak hal dalam hidup modern—kafe keren, snack gratis kantor, yoga retreat perusahaan—efeknya ternyata tak sesederhana itu.
Kinerja Naik… Lalu Merosot Seperti Lagu yang Diputar Terlalu Sering
Dilansir dari majalah HBR (2025), Dalam sebuah studi laboratorium, 252 peserta diminta membuat playlist Spotify mereka sendiri. Mereka lalu menjalani 19 putaran tugas proofreading. Lima putaran pertama: sunyi. Empat belas putaran berikutnya: ditemani rangkaian lagu favorit.
Awalnya, musik bekerja seperti dopamin kecil yang membantu. Skor mereka naik. Fokus meningkat. Tugas terasa lebih hidup.
Tapi setelah putaran ketujuh, grafiknya patah. Kinerja mulai turun… turun… dan turun… hingga akhirnya lebih buruk daripada saat mereka bekerja dalam kesunyian.
Seolah-olah musik, ketika didengarkan terlalu lama, mulai menagih bayaran: “Aku sudah bantu kamu tadi, sekarang giliran kamu yang lelah.”
Musik manis di awal, menyabotase di akhir. Mirip atasan yang awalnya perhatian, lama-lama minta laporan tambahan tiap malam.
Produktivitas dalam Tiga Jam Nada
Studi berikutnya lebih dekat dengan realitas pekerja kantoran. Selama tiga minggu, 247 karyawan dipantau. Setiap minggu, mereka “diacak nasibnya”:
- ada yang hampir tidak mendengar musik,
- ada yang menambah satu jam per hari,
- dan ada yang dibanjiri tiga jam tambahan.
Hasilnya? Secara umum, mereka yang mendengarkan musik melaporkan fokus lebih baik dibanding yang tidak mendengar apa pun. Tentu saja—musik mengusir keheningan yang terlalu akrab dengan renungan eksistensial.
Namun ketika para peneliti membedah datanya lebih dalam, gambarnya menjadi kurang romantis.
Ternyata efek musik sangat ditentukan oleh modal psikologis yang jarang dibicarakan di ruang kerja: kemauan dan ketahanan mental.
- Mereka yang memiliki “willpower” kuat—orang-orang yang merasa energik meski tugasnya berat—mampu menjaga fokus dan performa apa pun jumlah musik yang mereka dengar. Mereka seperti atlet mental: diberi Beethoven oke, diberi EDM juga tetap oke.
- Tapi bagi mereka yang mudah kelelahan oleh tugas kognitif, musik yang jumlahnya melampaui kebiasaan justru menjadi jebakan. Fokus merosot. Kinerja melemah. Nada-nada yang tadinya membantu berubah menjadi pencuri perhatian.
Musik: Suara Latar atau Perusuh Senyap?
Peneliti menyebut musik sebagai beban tersembunyi yang menguras sumber daya kognitif. Otak, yang sepanjang hari dipaksa multitugas, harus membagi sedikit energinya untuk memproses ritme, melodi, dan lirik.
Bagi sebagian orang, beban itu kecil. Tapi bagi mereka yang sudah rapuh oleh tugas-tugas mental yang menumpuk, tambahan beban sekecil apa pun bisa merusak keseimbangan.
Dengan kata lain: musik bukanlah doping; ia lebih mirip kafein. Bantu di awal, gemetar di akhir.
Kapan Saatnya Menekan Tombol “Off”?
Tulisan ini bukan kampanye kesunyian. Musik tetap punya tempat di meja kerja, di dalam kereta pagi hari, dan di sudut kantin saat tengah hari.
Tapi riset ini memberi isyarat penting: jika kepala Anda sudah penuh, musik bukan selalu solusi—kadang justru penyulut kekacauan kecil.
Mereka yang mudah mental drain sebaiknya waspada. Jika jumlah musik mulai melampaui kebiasaan, performa bisa tergelincir perlahan tanpa disadari.
Pada akhirnya, mungkin kita perlu lebih jujur:
Apakah musik benar-benar membantu kita fokus?
Atau kita hanya takut pada sunyi, karena dalam sunyi kita terpaksa mendengar
suara kepala sendiri?
Jawabannya ada di ujung tombol play dan off. Dan terkadang, kebijaksanaan dimulai dari berani memilih hening.
