PP 38/2025: Negara Jadi Lender Domestik, Strategi Baru Prabowo Dorong Kemandirian Fiskal
Presiden Prabowo Subianto resmi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2025 tentang Pemberian Pinjaman oleh Pemerintah Pusat, sebuah kebijakan fiskal strategis yang memberi dasar hukum baru bagi pemerintah untuk menyalurkan pembiayaan kepada pemerintah daerah (Pemda), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
PP ini ditetapkan di Jakarta pada 10 September 2025 dan diundangkan pada hari yang sama oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 144 Tahun 2025.
Langkah ini menandai perubahan penting dalam peran negara — dari yang selama ini menjadi penerima pinjaman (debitur), kini juga dapat bertindak sebagai pemberi pinjaman (kreditur) kepada entitas di bawahnya. Dengan demikian, pemerintah pusat memperluas fungsinya dari sekadar pengelola anggaran menjadi motor pembiayaan pembangunan nasional.
Negara Hadir Sebagai Pemberi Pembiayaan
Dalam penjelasan umumnya, PP ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang mengatur bahwa pemerintah pusat dapat memberikan pinjaman kepada Pemda, BUMN, dan BUMD.
Tujuannya bukan semata transaksi fiskal, tetapi sebagai instrumen kebijakan pembangunan. Pemberian pinjaman ditujukan untuk mendukung pelaksanaan program strategis nasional di berbagai sektor — mulai dari infrastruktur, energi, transportasi, air minum, hingga pelayanan publik.
Kebijakan ini juga menegaskan keberpihakan negara terhadap penguatan industri dalam negeri dan pembiayaan sektor ekonomi produktif, terutama untuk mendorong investasi padat karya dan sektor-sektor yang memiliki efek berganda (multiplier effect) terhadap pertumbuhan.
Dalam situasi darurat seperti bencana alam atau nonalam, pemerintah pusat dapat menyalurkan pinjaman langsung kepada Pemda atau BUMD yang membutuhkan pendanaan mendesak guna memulihkan ekonomi lokal dan layanan dasar masyarakat.
“Negara harus hadir dalam pemulihan pembangunan dan kehidupan bagi daerah yang terkena dampak bencana, khususnya dalam penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan,” tertulis dalam penjelasan umum PP tersebut.
Prinsip dan Mekanisme Pemberian Pinjaman
Pemberian pinjaman oleh pemerintah pusat dilaksanakan berdasarkan prinsip transparansi, manfaat, akuntabilitas, efisiensi, efektivitas, dan kehati-hatian.
Skema pinjaman hanya berlaku untuk tenor lebih dari 12
bulan, dan seluruh pengelolaan dilakukan oleh Menteri Keuangan
selaku Bendahara Umum Negara (BUN).
Sumber dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),
sementara mekanisme pengusulan dan persetujuan pinjaman harus melalui Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai bagian dari proses anggaran.
Bagi pemerintah daerah, BUMN, dan BUMD yang ingin mengajukan
pinjaman, PP ini menetapkan persyaratan fiskal yang ketat.
Untuk Pemda, total sisa pembiayaan utang dan pinjaman baru tidak boleh
melebihi 75 persen dari pendapatan APBD tahun sebelumnya, sementara Debt
Service Coverage Ratio (DSCR) harus minimal 2,5.
Calon penerima pinjaman juga wajib menyerahkan dokumen lengkap, termasuk:
- Studi kelayakan proyek,
- Laporan keuangan tiga tahun terakhir yang telah diaudit,
- Surat kuasa pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Bagi Hasil (DBH) bila terjadi tunggakan.
Selain itu, Menteri Keuangan berwenang melakukan penilaian kelayakan kredit, meminta jaminan, mengawasi pelaksanaan, dan menindak jika terjadi penyimpangan atau gagal bayar.
Tata Kelola dan Pengawasan
PP ini menekankan tata kelola yang ketat: setiap perjanjian pinjaman harus dituangkan secara resmi dan disampaikan salinannya kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Penerima pinjaman wajib mengembalikan dana sesuai perjanjian
— meliputi pokok, bunga/margin, dan biaya lainnya. Keterlambatan
pembayaran akan dikenai denda atau sanksi lain, yang dicatat sebagai Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP).
Seluruh transaksi dilakukan dalam mata uang rupiah, untuk menjaga
stabilitas sistem keuangan nasional dan mengurangi risiko nilai tukar.
Dampak Positif terhadap Ekonomi Nasional
Kebijakan ini membuka babak baru dalam manajemen fiskal nasional. Beberapa dampak positif yang dapat muncul antara lain:
- Memperkuat
kemandirian pembiayaan pembangunan.
Pemerintah kini dapat menjadi sumber pendanaan bagi proyek-proyek strategis tanpa bergantung pada utang luar negeri atau lembaga keuangan internasional. Ini memperkuat kedaulatan fiskal dan mengurangi eksposur terhadap volatilitas global. - Menopang
percepatan proyek strategis nasional (PSN).
Dengan akses pendanaan langsung dari APBN, proyek infrastruktur dan pelayanan publik di daerah bisa dieksekusi lebih cepat, khususnya proyek yang belum menarik minat investor swasta. - Meningkatkan
sinergi fiskal pusat-daerah.
Melalui mekanisme pinjaman ini, kebijakan fiskal nasional dan daerah menjadi lebih terintegrasi. Pemerintah pusat dapat memastikan bahwa proyek daerah selaras dengan prioritas pembangunan nasional. - Menumbuhkan
multiplier effect di sektor riil.
Dana pinjaman untuk infrastruktur, industri, dan BUMD berpotensi menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan permintaan bahan baku lokal, dan mendorong pertumbuhan UMKM di sekitar proyek.
Risiko dan Tantangan Implementasi
Meski potensinya besar, kebijakan ini juga mengandung risiko fiskal dan tata kelola yang harus diantisipasi dengan serius:
- Risiko
gagal bayar (default risk).
Pemda atau BUMD dengan kapasitas fiskal lemah bisa kesulitan mengembalikan pinjaman, yang pada akhirnya menambah beban APBN. Mekanisme pemotongan DAU/DBH menjadi alat mitigasi penting, tapi perlu sistem early warning yang efektif. - Risiko
politik dan moral hazard.
Karena pinjaman berasal dari APBN dan melibatkan persetujuan DPR, potensi intervensi politik dalam penyaluran pinjaman cukup besar. Seleksi proyek harus berbasis kelayakan ekonomi, bukan kedekatan politik. - Risiko
manajemen proyek dan pengawasan.
Banyak proyek daerah dan BUMD menghadapi masalah klasik seperti keterlambatan, korupsi, atau mismatch antara dana dan output. Perlu pengawasan lintas lembaga — antara Kemenkeu, Kemendagri, BPK, dan Bappenas — agar pinjaman tidak mubazir. - Risiko
akumulasi eksposur fiskal.
Jika pinjaman pemerintah pusat kepada banyak pihak macet, dampaknya bisa menekan ruang fiskal dan meningkatkan kebutuhan pembiayaan ulang APBN.
Instrumen Baru, Tanggung Jawab Baru
PP 38/2025 merupakan instrumen strategis yang dapat memperluas kemampuan negara dalam mendanai pembangunan dengan prinsip fiskal yang terukur dan berdaulat.
Namun, keberhasilannya bergantung pada ketepatan implementasi dan integritas tata kelola. Pemerintah harus menjaga keseimbangan antara ambisi pembiayaan dan kehati-hatian fiskal.
Jika dijalankan dengan disiplin dan transparan, kebijakan ini berpotensi menjadikan Indonesia bukan hanya negara yang berdaulat secara politik, tetapi juga berdaulat dalam pembiayaan pembangunan — sebuah langkah nyata menuju visi ekonomi besar di era Prabowo Subianto.
