Ketika Curiga Justru Membawa Untung: Seni Bernegosiasi dalam Dunia yang Tak Selalu Baik-Baik Saja

 

Di seminar motivasi, buku manajemen, dan ruang-ruang kerja yang penuh poster “Trust Is Everything,” kita dibesarkan oleh doktrin bahwa kepercayaan adalah mata uang utama dalam membangun hubungan bisnis. Tanpa percaya, katanya, bisnis adalah padang pasir penuh ilusi dan jebakan.

Namun satu studi terbaru memberikan tamparan halus: dalam negosiasi pertama, kecurigaan justru bisa menjadi pasangan dansa yang lebih menguntungkan daripada kepercayaan.

Ironis? Tentu. Tapi dunia nyata memang sering kali lebih mirip sandiwara politik daripada dongeng HR.

 

Ketika MBA Bertukar Kecurigaan

Penelitian ini melibatkan 160 mahasiswa MBA dari India. Mereka dipasangkan secara acak: satu menjadi perekrut, satu lagi kandidat yang sedang merundingkan tawaran kerja. Mereka harus menyelesaikan delapan isu sekaligus—dari gaji, bonus, hari libur, sampai lokasi kerja.

Situasinya kompleks, penuh potensi konflik kepentingan:

  • sebagian isu menuntut trade-off,
  • sebagian menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain,
  • dan sebagian lagi seharusnya saling menguntungkan.

Sebelum perundingan dimulai, tiap peserta diukur tingkat kepercayaannya terhadap manusia secara umum. Pertanyaannya klasik: “Apakah Anda percaya kebanyakan orang berniat baik?”

Mari kita tebak siapa yang paling sukses menghasilkan nilai tertinggi?

 

Ternyata Duo Penuh Kecurigaan Lebih Cemerlang

Hasilnya mencengangkan. Pasangan yang sama-sama rendah kepercayaannya menghasilkan keuntungan gabungan paling tinggi—hingga 15% lebih besar dibanding pasangan lain.

Mengapa bisa begitu?
Karena ketika kedua pihak datang dengan modal curiga, mereka:

  • bertanya lebih banyak,
  • menguji asumsi lebih keras,
  • dan tidak mudah termakan retorika.

Mereka tidak menganggap pihak lain sebagai malaikat atau sebagai penjahat. Mereka menganggapnya sebagai manusia: bisa jujur, bisa tidak, jadi lebih baik diperiksa.

Dengan kata lain, skeptisisme yang simetris menciptakan negosiasi yang lebih teliti, lebih kalkulatif, lebih strategis—dan itu menghasilkan kesepakatan lebih cerdas.

Ironisnya, kehati-hatian itu justru menguntungkan kedua pihak. Mirip dua sopir waspada yang sama-sama pelan di tikungan tajam—hasilnya kecelakaan lebih sedikit.

 

Tapi Bukan Berarti Si Optimistis Selalu Rugi

Studi ini juga menemukan sesuatu yang lebih nuansa: ketika dua orang yang sama-sama sangat percaya bertemu, mereka dapat bekerja dengan baik dalam isu-isu yang compatible, yakni yang tujuannya sejalan.

Di titik-titik itu, kepercayaan mempersingkat waktu, memperlancar negosiasi, dan membuat keduanya menemukan keuntungan bersama tanpa drama.

Tetapi begitu masuk set isu yang lebih kompetitif, kepercayaan berlebihan bisa berubah jadi kelemahan. Terlalu mudah mengiyakan. Terlalu cepat berasumsi. Terlalu ingin “kooperatif.”

Sementara si skeptis tetap bertanya:
“Kenapa dia mau memberi saya ini? Apa yang sedang dia sembunyikan di balik tawaran tampaknya manis itu?”

 

Catatan Penting: Skeptis Itu Berguna—Tapi Konteksnya Penting

Para peneliti memberi peringatan: hasil ini berlaku pada negosiasi pertama, ketika para pihak belum pernah bekerja sama sebelumnya.

Dalam hubungan jangka panjang, kepercayaan mungkin justru menjadi fondasi utama. Tidak ada organisasi yang bisa bertahan dengan modal curiga permanen. Tidak ada kemitraan yang langgeng dengan saling cek-cek-cek seperti interogasi.

Namun untuk negosiasi perdana—pertemuan awal, tender pertama, rekrutmen pertama—kewaspadaan bisa menjadi strategi, bukan cacat karakter.

Skeptisisme yang dibagi berdua membuat kedua pihak mengambil keputusan lebih tajam.
Kepercayaan yang terburu-buru bisa membuat keduanya ceroboh.

 

Kita Hidup di Dunia yang Tidak Sesuci Poster Kantor

Riset ini menyodorkan pesan yang menarik sekaligus satir:
dalam dunia bisnis yang serba dipoles jargon “kolaboratif,” kadang justru pikiran paling realistislah yang menciptakan nilai.

Pada akhirnya, mungkin kita harus meninjau ulang ajaran lama itu. Kepercayaan memang penting.
Tapi sebelum percaya, ada baiknya memastikan meja perundingan tidak penuh trik sulap.

Sebab seperti yang diam-diam diketahui para negosiator ulung:
percaya itu baik, tapi memeriksa jauh lebih baik.