Mengapa Tim Humas Harus Habis-habisan Menjual CEO Baru

 

Di banyak perusahaan, pergantian CEO kerap diperlakukan seperti pergantian poster motivasi di dinding kantor: rapat-rapat dipadatkan, jargon disegarkan, dan humas ditepuk bahunya sambil diberi mandat sakral, “Pokoknya bikin publik percaya bahwa ia adalah Messiah berikutnya.” Mandat itu sering terasa berlebihan—sampai sebuah riset terbaru menunjukkan: ternyata hype memang bisa menjadi kekuatan pasar yang nyata, bukan sekadar kesibukan kosmetik korporat.

Riset berjudul Agent Oriented Impression Management: Who Wins When Firms Publicize Their New CEOs? itu menelisik 557 suksesi CEO di perusahaan S&P 1500 selama 2009–2013. Hasilnya membuat siapapun yang pernah bekerja di divisi komunikasi tersenyum kecut: ternyata kerja keras mereka, dari press release yang berdandan retoris hingga posting LinkedIn yang penuh emoji semangat, tidak sia-sia. Bahkan menghasilkan uang—banyak uang.

 

Ketika Publisitas Menjadi Mesin Kapitalisasi

Para peneliti menemukan korelasi yang jelas: semakin sering dan semakin sentral seorang CEO baru diorbitkan oleh perusahaan dalam tahun pertama jabatannya, semakin tinggi rating yang diberikan analis. Bukan sekadar tinggi—tapi cukup tinggi untuk menggerakkan kapitalisasi pasar hingga kira-kira US$213 juta.

Bayangkan itu sebentar. Angka segemuk itu lahir bukan dari peluncuran produk baru, efisiensi biaya, atau strategi diversifikasi yang jenius. Tetapi… dari komunikasi. Dari kata-kata. Dari narasi yang diracik dengan cermat sehingga pasar merasa “optimis.”

Narasi ternyata bukan cuma pesona, tapi juga instrumen finansial. Ini seperti menemukan bahwa persuasi humas sebanding dampaknya dengan restrukturisasi korporat—bedanya, yang satu butuh konsultan manajemen, yang satu lagi hanya butuh editor yang lihai merangkai kata visionary leadership tanpa tersedak.

 

Manfaat Langsung: CEO Paling Untung

Bagian paling satir dari temuan riset ini adalah: yang paling menikmati hasil kerja humas bukan perusahaan, melainkan CEO-nya sendiri.

Ketika perusahaan gencar mengumumkan “betapa strategisnya” pemimpin baru mereka, maka:

  • Gaji sang CEO melonjak hingga 184% dibanding rekan seangkatannya.
  • Kursi direksi di perusahaan lain naik 40%.
  • Risiko dipecat turun 40%.

Dengan kata lain: publisitas bukan hanya membangun reputasi; dia menciptakan mobilitas sosial kelas atas dalam kecepatan tinggi. Seorang CEO yang rajin diberitakan bisa dibilang seperti selebritas: makin sering tampil, makin mahal tarifnya, makin kecil kemungkinan diganti.

Ini ironis tapi masuk akal. Jika pasar percaya Anda jenius, dewan direksi jadi segan untuk mengakui jika mereka salah memilih. Publisitas menciptakan halo effect—dan halo itu mahal.

 

PR: Divisi yang Selalu Disalahpahami

Di banyak perusahaan, divisi humas sering dianggap fungsi kosmetik, bukan mesin nilai. Mereka dipanggil paling akhir ketika krisis datang, tapi diminta bekerja paling cepat. Mereka disuruh memoles reputasi dengan anggaran yang lebih kecil dari biaya bunga utang perusahaan.

Padahal, seperti riset ini tunjukkan, humas adalah satu-satunya divisi yang bisa menciptakan kapitalisasi pasar ratusan juta dolar tanpa menyentuh mesin produksi, pabrik, atau server cloud. Cukup dengan:

  • deretan rilis pers yang “menegaskan komitmen transformasional,”
  • video profil CEO berlatar musik optimis,
  • dan sederet wawancara media yang memuji “kualitas kepemimpinan adaptif.”

Kadang, yang dibutuhkan perusahaan hanyalah keyakinan massal bahwa masa depan cerah—meski detail strateginya belum selesai di whiteboard.

 

Analisis Singkat: Mengapa Publisitas CEO Begitu Berpengaruh?

Ada tiga alasan yang patut dicatat.

  1. Analis—dan pasar—membaca sinyal.
    Kehadiran CEO baru adalah momen ketidakpastian. Ketidakpastian itu bisa ditambal dengan narasi yang konsisten, sehingga analis melihat “arah” meski arah itu baru sekadar kata-kata.
  2. Publisitas menormalisasi harapan.
    Jika banyak pihak memuji CEO baru, ekspektasi menjadi norma. Tidak ada yang mau menjadi orang pertama yang bilang, “Saya ragu,” ketika semua headline kompak memuji.
  3. Efek reputasi menyebar.
    Setelah CEO terlihat kuat di publik, dewan perusahaan lain pun tergoda mengundang. Reputasi, sekali viral, jarang menyusut.

 

Kesimpulan: Investasi Terbaik Setelah CEO Baru, Adalah Mengomunikasikannya

Riset ini menegaskan sesuatu yang selama ini hanya dianut sebagai dogma di ruang-ruang rapat: bukan cukup memilih CEO yang bagus; Anda harus membuat semua orang percaya ia bagus. Narasi, pada akhirnya, adalah separuh dari manajemen perusahaan.

Jika perusahaan ingin memaksimalkan momentum transisi, tidak ada investasi komunikasi yang dianggap berlebihan. Justru salah satu dosa terbesar perusahaan modern adalah memperlakukan pelantikan CEO seperti agenda administratif biasa.

Jadi, ketika CEO baru datang—siapkan studio foto, rancang messaging, dan relakan pekan-pekan pertama humas dipenuhi lembur. Sebab kali ini, kerja mereka bukan sekadar menjaga citra.

Mereka sedang mencetak kapitalisasi pasar. Dan mungkin, tanpa disadari, sedang mencetak kelas sosial baru bagi sang CEO.