Untuk Menemukan Gagasan Hebat, Cobalah Menurunkan Standar

Dunia inovasi selalu memuja ide “revolusioner” seolah semua kemajuan lahir dari eureka yang menggelegar. Perusahaan pun berlomba menggelar hackathon, membangun inkubator “pemburu unicorn,” dan memasang jargon yang—kalau dibaca terlalu pagi—bisa menyebabkan pusing ringan: disruptive thinking, radical innovation, moonshot mindset.

Namun sebuah riset menunjukkan kenyataan yang lebih getir: mungkin, justru standar seleksi yang semakin ketat itulah yang membunuh peluang menemukan ide terbaik. Dengan kata lain, para penjaga gerbang inovasi mungkin sibuk menyaring begitu keras hingga akhirnya justru melewatkan emas dan menampung pasir.

 

Ketika Filter Inovasi Menjadi Mesin Penghancur Inovasi

AppCampus—akselerator yang digagas Microsoft, Nokia, dan Aalto University—menjadi laboratorium alami untuk menguji paradoks ini. Selama tiga tahun, mereka mengubah kriteria seleksi pendanaan aplikasi mobile sebanyak tiga kali:

  1. Tahap pertama: terbuka untuk semua, fokus pada novelty.
  2. Tahap kedua: hanya untuk aplikasi yang menjanjikan pasar massal dan dibuat pengembang dengan rekam jejak kuat.
  3. Tahap ketiga: undangan eksklusif, hanya untuk developer yang sudah kenal baik dengan Microsoft atau pernah lolos pra-seleksi.

Secara teori, semakin ketat saringan, semakin terjamin kualitas hasil.

Secara praktik, hasilnya malah seperti memilih durian dengan menilai bentuk kulitnya saja: banyak yang tampak menjanjikan ternyata zonk, sementara yang berduri kusut dan tak menarik justru yang paling manis.

Di putaran terakhir AppCampus, jumlah false negatives meningkat: aplikasi yang mereka tolak justru dikembangkan secara mandiri dan sukses di pasar. Pada saat yang sama, false positives—ide yang didanai tapi tak pernah menjadi apa-apa—ikut bertambah.

Saringan makin ketat, tetapi radar makin tumpul.

 

Dua Penyebab: Bias Masa Lalu dan Strategi Menipu Sistem

Lewat 126 wawancara dengan staf dan dewan AppCampus, para peneliti menemukan dua sebab utama kegagalan ini—keduanya sangat manusiawi, terlalu manusiawi.

Pertama, rekam jejak developer ternyata bukan indikator kemampuan menciptakan aplikasi hit yang berikutnya.
Inovasi, rupanya, tidak mengikuti pola karier artis dangdut: sekali viral, tidak berarti berikutnya pasti laku.

Kedua, ini lebih jenaka sekaligus tragis: ketika developer berpengalaman tahu mereka akan difavoritkan, mereka justru membawa ide kelas dua ke AppCampus.
Proyek terbaik? Disimpan untuk investor lain.

Jadi AppCampus, yang ingin merangkul elit inovasi, akhirnya menjadi tempat parkir ide cadangan. Sebuah festival “second-best,” dilembagakan dengan anggun.

 

Ketika Standar Tinggi Berubah Menjadi Kandang Bias

Fenomena ini memperlihatkan sisi gelap dari sistem seleksi yang terlalu ketat: evaluator akhirnya bersandar pada metrik-metrik dangkal—rekam jejak, koneksi, dan familiaritas—bukan kualitas ide.

Masalahnya, inovasi bukan matematika linier.
Ia seperti kucing: muncul dari arah yang tidak terduga, muncul dari orang yang tidak Anda kenal, dan sering kali meloncat keluar dari kardus yang tidak Anda curigai.

Standar yang terlalu tinggi kadang berubah menjadi cara elegan untuk menolak yang baru, yang aneh, yang tidak rapi dalam pitch deck, tetapi justru memiliki potensi paling besar.

 

Analisis: Mengapa Kita Terlalu Percaya pada Saringan?

Ada tiga sebab mengapa organisasi terus memperketat kriteria seleksi, meski hasilnya merugikan.

  1. Keamanan psikologis.
    Memilih orang atau ide yang “teruji” memberi rasa aman. Kalau gagal, setidaknya gagal bersama seseorang yang punya CV panjang.
  2. Ilusi kontrol.
    Semakin banyak kriteria, semakin terasa prosesnya ilmiah. Padahal itu sering hanya memberi rasa kontrol palsu.
  3. Politik internal.
    Kriteria yang semakin ketat sering kali menyamarkan kelompok yang ingin mempertahankan dominasi akses. Inovasi yang lahir pun akhirnya homogen.

Kombinasi ketiganya membuat organisasi membangun pagar tinggi—padahal sejarah inovasi justru ditulis oleh mereka yang melompati pagar tanpa disuruh.

 

Turunkan Standar, Naikkan Peluang

Riset ini memberi satu pesan penting: untuk menemukan ide besar, kadang lebih baik mengganti kacamata daripada mempersempit celah pintu.

Mungkin yang dibutuhkan organisasi bukan seleksi yang lebih sulit, tapi keberanian untuk membuka pintu lebih lebar. Karena inovasi yang benar-benar bernilai sering datang dari tempat yang tidak memenuhi formulir dengan rapi.

Jadi lain kali Anda mengikuti demo day atau duduk di panel penilai hackathon, ingatlah bahwa ide brilian tidak peduli pada sistem skor. Dan mungkin, ide terbaik hari itu adalah yang Anda tolak—karena terlalu fokus mencari kesempurnaan, Anda lupa mencari kejutan.

Karena dalam inovasi, standar yang terlalu tinggi kadang hanya cara lain untuk menolak masa depan.