Konsultan di Era AI: Piramida Runtuh, Obelisk Muncul
📌 Intisari Berita:
- AI tidak menghapus profesi konsultan, tetapi sedang mengubah struktur industrinya secara mendasar.
- Model “piramida” tradisional — dengan banyak analis junior di bawah dan sedikit mitra senior di puncak — kini tergantikan oleh model “obelisk”: tim lebih ramping, berisi konsultan berpengalaman yang bekerja berdampingan dengan sistem AI.
- Firma besar seperti McKinsey, BCG, dan Bain sudah menerapkan asisten AI internal, sementara startup konsultan berbasis AI seperti Unity Advisory dan Disruptive Edge membangun model bisnis tanpa lapisan analis sama sekali.
AI Mengguncang Fondasi Dunia Konsultan
Selama puluhan tahun, dunia konsultansi dikuasai oleh
struktur piramida klasik:
ratusan konsultan muda mengerjakan riset, model keuangan, dan analisis data di
bawah arahan segelintir partner senior yang mengendalikan strategi dan hubungan
klien.
Model ini efisien — menghasilkan margin besar lewat jam kerja berjenjang — dan telah mendefinisikan bisnis konsultansi sejak era 1980-an. Namun kini, kecerdasan buatan (AI) sedang meruntuhkan fondasi itu.
“AI tidak akan membuat konsultan punah, tapi memaksa mereka
untuk berevolusi,”
tulis David S. Duncan, Tyler Anderson, dan Jeffrey Saviano dalam artikel
AI Is Changing the Structure of Consulting Firms.
Teknologi seperti generative AI, predictive analytics, dan synthetic research platforms telah mengotomatiskan hampir semua pekerjaan yang dulu menjadi tanggung jawab konsultan junior — dari mengumpulkan data hingga membuat presentasi PowerPoint.
Dalam istilah sederhana: AI mengambil alih dasar piramida.
Dari Piramida ke Obelisk: Model Baru Konsultansi AI-Native
Ketika lapisan bawah piramida runtuh, struktur baru pun muncul — disebut model “obelisk”.
Model ini lebih ramping dan tinggi, berisi lebih
sedikit staf, tetapi dengan leverage dan efisiensi yang jauh lebih
tinggi di setiap tingkat.
Alih-alih ribuan analis magang, hanya ada tiga peran utama manusia:
- 🧠
AI Facilitators
Konsultan muda yang mahir menggunakan alat AI, mengatur data pipeline, dan menyempurnakan alur kerja otomatis.
Mereka bukan hanya pengguna AI, tetapi arsitek sistem yang menghasilkan wawasan. - 🎯
Engagement Architects
Konsultan berpengalaman yang menafsirkan hasil AI menjadi rekomendasi strategis.
Mereka menjaga konteks, menghubungkan analisis dengan realitas bisnis, dan memastikan keputusan berbasis penilaian manusia. - 🤝
Client Leaders
Partner senior yang membangun kepercayaan jangka panjang dengan klien, menjadi penafsir perubahan, dan penasihat strategis di level eksekutif.
“Obelisk bukan sekadar struktur baru,” tulis para penulis, “tetapi evolusi logis dari cara konsultan menciptakan nilai di era otomatisasi.”
AI Mengubah Peran Konsultan — dan Ekonominya
Perubahan ini tidak terjadi di ruang teori. Firma-firma global sudah bereksperimen secara agresif:
- McKinsey menggunakan asisten AI internal bernama Lilli, yang digunakan oleh 72% karyawannya dan menurunkan waktu riset hingga 30%.
- Boston Consulting Group (BCG) meluncurkan Deckster, alat pembuat slide deck otomatis hanya dalam hitungan menit.
- Bain & Company memperkenalkan Sage, AI internal yang dilatih dari basis pengetahuan milik perusahaan.
- Deloitte mengoperasikan AI agents bernama Zora, sementara PwC mengembangkan Agent OS untuk mengotomatisasi alur kerja konsultan.
Hasilnya jelas:
AI kini melakukan pekerjaan yang dulu membutuhkan tim besar — dan melakukannya lebih
cepat, lebih murah, dan lebih akurat.
Jika ribuan jam kerja junior hilang, piramida lama tak lagi efisien.
Contoh Nyata: Monevate, SIB, dan Unity Advisory
Para pelopor struktur obelisk justru datang dari firma-firma kecil yang AI-native.
- Monevate, spesialis strategi harga, menggunakan AI playbook untuk memodelkan skenario tanpa layer analis.
- SIB memanfaatkan AI agents untuk memindai tagihan dan kontrak vendor, hanya melibatkan manusia ketika benar-benar diperlukan.
- Unity
Advisory, didirikan oleh eks-partner “Big Four” dan didukung modal USD
300 juta, menerapkan model ekstrem:
tidak memiliki analis junior sama sekali, bekerja dalam agile pods berisi konsultan senior yang dibantu AI untuk menyusun strategi dengan kecepatan tinggi.
Model semacam ini memangkas biaya besar, mempercepat proyek, dan meniadakan hierarki klasik yang sering memperlambat proses.
Disruptive Edge: Kasus Eksperimen di Lapangan
Firma Disruptive Edge, yang dipimpin oleh dua dari penulis artikel, sedang menjalankan eksperimen serupa.
Alih-alih mengerahkan tim analis untuk riset, mereka langsung memulai proyek dengan laporan AI sintetis yang merangkum data global dalam hitungan jam.
“Kami bisa beralih dari ide ke prototipe dalam dua minggu,”
tulis David Duncan.
“AI memungkinkan kami fokus pada dialog strategis dengan klien — bukan
pekerjaan dasar.”
Dengan alat seperti Lovable, platform pengembangan aplikasi berbasis AI, tim Disruptive Edge mampu menciptakan proof of concept secara cepat tanpa kehilangan kualitas.
Tantangan Berat bagi Firma Tradisional
Meski banyak firma besar telah mengumumkan “laboratorium AI”
atau “inisiatif transformasi digital,” kenyataannya, inti model bisnis
mereka belum berubah.
Sistem promosi, kompensasi, dan manajemen proyek masih bergantung pada jumlah
jam yang bisa ditagihkan — bukan hasil atau wawasan.
Inilah yang disebut para penulis sebagai “Innovator’s
Dilemma” versi konsultansi:
model lama masih menghasilkan uang, sehingga perusahaan enggan mengubahnya.
Selain itu, realokasi talenta menjadi tantangan
besar.
Firma tradisional terbiasa merekrut ratusan MBA generalis setiap tahun.
Namun masa depan menuntut profil baru: konsultan yang melek AI, data, dan
sistem berpikir lintas disiplin.
PwC, misalnya, telah mengumumkan investasi USD 1 miliar untuk pelatihan AI — tetapi budaya dan insentif internal kemungkinan butuh waktu lama untuk menyesuaikan diri.
Lebih dari Sekadar Alat: AI Menuntut Redesign Organisasi
Kesalahan terbesar, menurut Duncan dan rekan-rekannya, adalah memperlakukan AI hanya sebagai “alat tambahan” di atas sistem lama.
“AI bukan aksesori bagi piramida,” tulis mereka,
“tetapi alasan untuk membangun ulang struktur dari awal.”
Jika tidak, firma yang lamban akan kalah dari pesaing yang lebih ramping, berorientasi hasil, dan mampu menawarkan harga lebih rendah dengan kualitas lebih tinggi.
Etika dan Tata Kelola AI: Tantangan Baru dalam Konsultansi
Ada pula persoalan governance dan etika.
Dalam model piramida, setiap laporan melalui banyak lapisan verifikasi—analis,
manajer, partner—sehingga tanggung jawab jelas.
Dalam model obelisk yang lebih ramping dan cepat, AI membuat keputusan dalam
rantai yang lebih pendek.
Karena itu, diperlukan sistem etika baru agar keputusan berbasis AI tetap dapat dipertanggungjawabkan dan transparan.
Jeffrey Saviano, salah satu penulis, kini memimpin tim riset
tata kelola AI di Harvard’s Edmond & Lily Safra Center for Ethics.
Ia menekankan bahwa bisnis tak bisa menunggu regulasi pemerintah:
“Tanggung jawab etika AI harus dibangun dari dalam organisasi—bukan diserahkan pada compliance di akhir proses.”
Masa Depan: Dari Jam Kerja ke Nilai Strategis
Bhandari dan rekan-rekannya meyakini, pemenang di era baru
ini adalah firma yang mampu mendefinisikan ulang “produktivitas konsultan.”
Bukan lagi berapa jam dikerjakan, tapi seberapa besar dampak strategis yang
dihasilkan.
Model obelisk menggeser fokus dari volume ke value, dari hirarki ke ketangkasan, dari “berapa banyak orang” ke “berapa tajam wawasan.”
Firma yang mampu menyeimbangkan AI, keahlian manusia, dan etika bisnis akan memimpin gelombang baru konsultansi global.
“AI tidak menghapus kebutuhan akan konsultan,” tulis para penulis, “tapi menghapus alasan bagi konsultan untuk tetap seperti dulu.”
Industri konsultansi sedang memasuki masa transformasi paling besar dalam sejarahnya.
Model piramida—yang selama puluhan tahun menjadi simbol status dan stabilitas—mulai runtuh di bawah tekanan otomatisasi.
Sebagai gantinya, muncul “obelisk consulting”: ramping, cepat, cerdas, dan berfokus pada nilai strategis.
Di masa depan, yang bertahan bukanlah firma terbesar—melainkan yang paling adaptif.