Pelan tapi Pasti: Seni Melatih Eksekutif Hiperaktif agar Lebih Efektif
📌 Pokok Berita:
- Banyak eksekutif berenergi tinggi salah kaprah mengartikan kecepatan sebagai efektivitas, padahal sering kali justru menciptakan kekacauan dan kelelahan organisasi.
- Fenomena ini disebut sebagai sindrom “caffeinated squirrel”—pemimpin yang terlalu cepat berpikir dan bertindak tanpa arah strategis yang jelas.
- Pelatih kepemimpinan menyarankan metode strategic pause, cognitive mapping, dan clarity score untuk mengubah energi impulsif menjadi kepemimpinan yang fokus, sistematis, dan berdampak.
Dalam dunia korporasi modern, ada mitos lama yang sulit mati: bahwa pemimpin terbaik adalah mereka yang bergerak paling cepat.
Kecepatan, ketegasan, dan intensitas sering dianggap sebagai lambang kepemimpinan unggul. Namun menurut Rahul Bhandari, penulis dan pelatih eksekutif global, asumsi ini keliru besar.
“Banyak eksekutif yang tampak ‘enerjik dan visioner’ sebenarnya sedang melakukan kesalahan strategis yang sama: mereka terlalu banyak bergerak tanpa arah,” tulis Bhandari dalam esainya bertajuk How to Coach Hyperenergetic Executives.
Selama dua dekade membina CEO, direktur, dan mitra investasi di berbagai sektor—dari teknologi hingga private equity—Bhandari menemukan bahwa perilaku yang sering dianggap sebagai ciri pemimpin hebat sebenarnya bisa menjadi bentuk “over-functioning”: gaya kepemimpinan yang ditandai dengan aktivitas tanpa henti, kecepatan berpikir ekstrem, dan ketidaknyamanan terhadap keheningan.
Ketika Kecepatan Menjadi Ilusi Produktivitas
Bhandari menyebut tipe pemimpin seperti ini sebagai caffeinated squirrels—tupai yang “kecanduan kafein”.
Mereka tampak karismatik: berpikir cepat, bicara cepat, penuh ide, dan tidak bisa diam. Tapi di balik itu, organisasi di bawahnya sering kelelahan menghadapi perubahan arah yang terus-menerus.
“Masalahnya bukan pada kecerdasan mereka,” tulis Bhandari, “melainkan pada kecenderungan mereka untuk menyamakan gerak dengan kemajuan.”
Sebuah studi McKinsey (2023) mendukung observasi ini: meski 70% eksekutif percaya organisasi harus “bergerak lebih cepat,” lebih dari separuh justru mengaku kecepatan itu menurunkan koordinasi, moral, dan meningkatkan burnout.
Fenomena ini oleh Microsoft disebut productivity theater—aktivitas yang tampak sibuk, tetapi kehilangan arah strategis.
Kisah Nyata: Ketika Energi Berlebihan Jadi Bumerang
Bhandari menceritakan kasus “Ethan,” seorang COO startup yang ambisius.
Dalam 90 hari pertamanya, Ethan merombak dua departemen, meluncurkan sistem OKR baru, mempercepat rekrutmen besar-besaran, dan menjajaki kemitraan strategis.
Awalnya dewan direksi terkesan. Namun tak lama, hasilnya berantakan: moral karyawan anjlok, proyek tertunda, dan rekrutmen gagal.
Ketika direfleksikan, Ethan mengakui bahwa semua tindakannya lahir dari ketakutan terlihat tidak produktif.
“Kecepatannya bukan tanda visi,” tulis Bhandari, “tapi kecemasan yang dikemas
sebagai urgensi.”
Begitu Ethan belajar memperlambat ritme dan memprioritaskan hanya tiga
inisiatif penting, hasilnya lebih nyata: komunikasi lebih jelas, eksekusi
terarah, dan kepercayaan tim meningkat.
Akar Emosional dari Energi yang Tak Terkendali
Menurut Bhandari, banyak pemimpin hiperaktif membawa “bahan bakar emosional” dari masa lalu—perasaan harus selalu membuktikan diri.
Sebagian adalah first-generation achievers atau pendiri startup yang terbiasa hidup dalam kecepatan ekstrem.
Mereka menyamakan keheningan dengan kemalasan dan gerak dengan nilai diri.
Masalahnya, saat memasuki level kepemimpinan yang lebih tinggi, energi semacam itu tak lagi efektif.
“Pada tingkat eksekutif, nilai bukan diukur dari seberapa cepat seseorang bertindak, tapi seberapa jelas mereka berpikir,” tegas Bhandari.
Ia menyebut, “Eksekutif yang paling berpengaruh bukanlah yang paling cepat berpikir, tapi yang paling jernih berpikir.”
Dua Ancaman Modern: Overload dan Burnout
Bhandari menyoroti dua fenomena yang memperparah masalah ini:
- Kelebihan Informasi (Cognitive Overload) – Dengan Slack, dasbor, dan rapat daring tanpa henti, pemimpin kini tenggelam dalam data. “Pemimpin yang sukses bukan yang melakukan lebih banyak,” katanya, “tapi yang mampu menciptakan ruang berpikir bagi timnya.”
- Burnout Eksekutif – Studi Deloitte 2024 mencatat hampir 70% eksekutif merasa “lelah mental dan emosional.” Banyak di antaranya terus tampil produktif di luar, tapi sebenarnya sedang “rapuh di dalam.”
Dari Kacau Menjadi Fokus: Strategi Mengubah Energi
Alih-alih menyuruh pemimpin hiperaktif “tenang” atau “pelan-pelan,” Bhandari menyarankan pendekatan sistematis: membangun kerangka yang menyalurkan energi, bukan menekannya.
Beberapa metode yang ia gunakan dalam executive coaching antara lain:
1. Strategic Pause Mechanism
Sebelum meluncurkan proyek baru, pemimpin diwajibkan menunggu 48–72 jam sambil menjawab tiga pertanyaan reflektif:
- Apakah ide ini sejalan dengan prioritas strategis perusahaan?
- Sumber daya mana yang harus dikorbankan?
- Apa dampaknya jika tidak segera dijalankan?
Metode ini mencegah reaksi impulsif yang sering disamarkan sebagai keputusan cepat.
2. Cognitive State Mapping
Alih-alih hanya mengatur waktu (time blocking),
pemimpin diajak memetakan kondisi kognitif: kapan mereka paling fokus,
kolaboratif, reflektif, atau reaktif.
Dengan begitu, energi mental digunakan pada momen yang paling produktif.
3. Clarity as a Metric
Beberapa dewan kini menilai eksekutif bukan hanya dari laba,
tapi juga kejelasan arah strategis—seberapa besar ia mengurangi
kebisingan, memperjelas prioritas, dan menyelaraskan tim lintas fungsi.
Salah satu perusahaan yang menerapkan Execution Clarity Score bahkan
melihat peningkatan kinerja lintas divisi hanya dalam satu kuartal.
Kasus Transformasi: Dari Hiperaktif ke Strategis
Salah satu klien Bhandari, Maya, seorang presiden regional
perusahaan teknologi global, menerima umpan balik 360 derajat yang mengejutkan:
timnya menggambarkannya sebagai “inspiratif tapi melelahkan.”
Ia sering memulai 10 inisiatif strategis per bulan—hanya dua yang selesai.
Bhandari membantunya melakukan leadership rhythm reset:
- menghapus setengah dari rapat tidak penting,
- membuat jurnal keputusan pribadi,
- dan mengadakan tinjauan strategi bulanan.
Tiga bulan kemudian, hasilnya terasa: kepercayaan tim meningkat, proyek lebih konsisten, dan Maya tetap berenergi—namun kini, energinya terarah.
Membangun Budaya yang Menghargai Refleksi
Menurut Bhandari, semua metode ini tak akan berhasil tanpa budaya organisasi yang aman secara psikologis.
Pemimpin hiperaktif sering takut terlihat “tidak berguna” jika berhenti sejenak. Karena itu, CEO dan dewan direksi harus mencontohkan bahwa refleksi bukan tanda kelemahan, melainkan kedewasaan strategis.
“Hal paling berharga yang bisa dikatakan seorang CEO kepada eksekutif hiperaktif adalah:
‘Nilaimu bukan diukur dari banyaknya aktivitas, tapi dari kejernihan dampak yang kamu hasilkan.’”
Pelajaran dari Peter Drucker
Bhandari menutup tulisannya dengan mengutip Peter Drucker:
“Tidak ada yang lebih tidak berguna daripada melakukan sesuatu dengan sangat efisien—padahal seharusnya tidak dilakukan sama sekali.”
Pemimpin sejati, katanya, bukan yang paling sibuk, melainkan
yang paling tahu kapan harus berhenti.
Karena dalam kepemimpinan modern, tujuannya bukan sekadar bergerak
cepat—tapi bergerak ke arah yang benar.
Refleksi Akhir
Dalam era banjir informasi dan teater produktivitas, pemimpin yang mampu memperlambat dengan strategi justru akan bertahan paling lama.
Mereka bukan sekadar penggerak organisasi, tapi juga penjaga arah.
“Kecepatan menarik perhatian,” tulis Bhandari, “tapi
fokuslah yang menciptakan pengaruh.”
Pemimpin masa depan bukanlah caffeinated squirrels—melainkan calibrated
strategists:
mereka yang tahu kapan harus berlari, kapan harus melangkah pelan, dan kapan
harus berhenti untuk bertanya—apakah saya sedang menciptakan kemajuan, atau
sekadar gerakan kosong?