The Death of Truth: Alarm Keras Tentang Matinya Kebenaran di Era Media Sosial
Apakah kita masih bisa sepakat bahwa enam kali tujuh bukan empat puluh satu? Pertanyaan sederhana ini dijadikan pembuka oleh Steven Brill dalam bukunya The Death of Truth: How Social Media and the Internet Gave Snake Oil Salesmen and Demagogues the Weapons They Needed to Destroy Trust and Polarize the World—And What We Can Do About It (2024).
Brill, seorang jurnalis investigasi dan pendiri NewsGuard, menyodorkan analisis mendalam tentang bagaimana kebenaran (truth) perlahan kehilangan daya ikatnya. Fakta kini bersaing dengan “alternative facts”, teori konspirasi, dan disinformasi yang menyebar masif lewat media sosial. Akibatnya, masyarakat kian sulit membedakan antara informasi yang benar dan manipulasi, antara sains dan pseudo-sains, antara berita dan propaganda.
Buku ini bukan sekadar catatan akademis. Ia adalah alarm keras bahwa tanpa kebenaran, kepercayaan (trust) hancur, dan ketika kepercayaan hilang, demokrasi pun runtuh.
Bab 1 – Krisis Kebenaran di Dunia yang Terbelah
Brill membuka bukunya dengan sederet contoh mutakhir: teori konspirasi yang menyebut penembakan massal di Maine hanyalah “false flag”, klaim bahwa 5G menyebabkan COVID-19, tuduhan pemilu AS 2020 dicurangi, hingga narasi vaksin menyebabkan autisme.
Yang mencemaskan, hoaks ini bukan hanya muncul, tetapi mendapat jutaan interaksi dalam hitungan jam. Kebenaran kini bukan persoalan fakta, melainkan persoalan siapa yang paling keras bersuara dan paling efektif memanfaatkan algoritma.
Bab 2 – Section 230: Payung Hukum yang Membuat Big Tech Kebal
Krisis ini punya akar hukum. Pada 1996, Kongres AS mengesahkan Section 230, aturan yang memberi kekebalan bagi platform internet atas konten yang dipublikasikan penggunanya.
Awalnya, aturan ini dimaksudkan melindungi inovasi: bagaimana mungkin AOL atau Prodigy bertanggung jawab atas jutaan komentar penggunanya? Namun dalam praktiknya, Section 230 menjelma tameng bagi raksasa teknologi seperti Facebook, Google, dan Twitter. Mereka bisa meraup keuntungan dari konten paling sensasional tanpa takut dituntut, meski konten itu berbahaya.
Bab 3 – Algoritma yang Menjual Emosi
Brill menyoroti kisah Renée DiResta, seorang ibu muda yang mencari informasi vaksin di Facebook. Alih-alih bertemu data ilmiah, ia justru terhanyut ke dalam komunitas anti-vaksin. Mengapa? Karena algoritma media sosial menemukan bahwa konten marah, takut, dan konspiratif jauh lebih “mengikat” dibanding fakta yang tenang.
Inilah inti masalah: algoritma dirancang bukan untuk menyebarkan kebenaran, melainkan untuk memaksimalkan waktu layar. Konten yang membuat orang marah, takut, atau penuh kecurigaan lebih sering dimunculkan karena lebih menguntungkan.
Bab 4 – “Kami Minta Maaf”
Para CEO Big Tech seperti Mark Zuckerberg dan Jack Dorsey sering tampil di hadapan Kongres dengan narasi serupa: permintaan maaf dan janji akan memperbaiki diri. Namun, sebagaimana dicatat Brill, permintaan maaf itu lebih mirip strategi PR ketimbang upaya perubahan nyata. Model bisnis berbasis keterlibatan (engagement) tetap dibiarkan berjalan, karena itulah mesin uang mereka.
Bab 5 – Banjir Informasi Palsu
Brill menggambarkan internet seperti perpustakaan tanpa katalog. Jutaan “lembaran kertas” beterbangan, tanpa keterangan penulis, kredensial, atau sumber. Dalam kondisi ini, hoaks mudah menyamar sebagai kebenaran.
Bahkan, menurut data, situs penjual “obat ajaib” berbasis perak koloid bisa mengalahkan situs Mayo Clinic dalam jumlah interaksi online. Itulah “gurun informasi” modern, tempat fakta dan kebohongan bercampur tanpa pembeda.
Bab 6 – Dari Rokok ke Pandemi
Brill menarik analogi menarik: strategi anti-sains hari ini mirip dengan industri tembakau di abad lalu. Perusahaan rokok membayar ilmuwan untuk meragukan bukti bahwa merokok berbahaya. Kini, “dokter gadungan” atau seleb medsos dipakai untuk menyebarkan keraguan atas vaksin atau COVID-19.
Hoaks medis bukan hanya membingungkan publik, tetapi juga menyebabkan nyawa melayang akibat rendahnya tingkat vaksinasi.
Bab 7 – Iklan yang Membiayai Hoaks
Ironisnya, banyak brand besar tanpa sadar ikut mendanai situs penyebar kebohongan melalui sistem iklan programatik. Algoritma iklan otomatis menempatkan iklan di situs mana pun yang ramai dikunjungi, termasuk situs konspirasi. Artinya, uang perusahaan justru menopang industri disinformasi.
Bab 8 – Gurun yang Lebih Luas dari Televisi
Pada 1961, regulator AS menyebut televisi sebagai “a vast wasteland” karena miskin kualitas. Brill menyatakan media sosial lebih buruk: bukan hanya kosong, tetapi juga aktif merusak dengan memperkuat ekstremisme, kebencian, dan polarisasi.
Bab 9 – Menyerang Penjaga Kebenaran
Fakta lain yang mengejutkan: jurnalis, fact-checker, dan inisiatif seperti NewsGuard kerap jadi sasaran serangan balik. Alih-alih berdebat dengan bukti, kelompok penyebar hoaks berusaha melemahkan legitimasi “wasit” informasi, agar publik semakin bingung siapa yang bisa dipercaya.
Bab 10 – Infodemic
WHO pernah menyebut pandemi COVID-19 diiringi infodemic: banjir informasi palsu yang menyebar lebih cepat daripada virusnya sendiri. Dari klaim vaksin berisi chip hingga tuduhan laboratorium bioweapon di Ukraina, Brill menunjukkan bagaimana dunia digital menciptakan badai kebohongan global.
Bab 11 – Lubang Kelinci Algoritma
Mengapa orang bisa berubah dari penonton video kucing menjadi percaya teori Bumi datar? Brill menyebut fenomena ini sebagai “rabbit hole effect”. Algoritma YouTube dan TikTok mengarahkan pengguna ke konten makin ekstrem agar tetap terpaku di layar. Semakin lama menonton, semakin besar iklan yang bisa dijual.
Bab 12 – Ekspor Memalukan Amerika
Mesin disinformasi ini bukan hanya masalah Amerika. Karena perusahaan teknologi besar berbasis di Silicon Valley, produk “racun digital” ini diekspor ke seluruh dunia: dari propaganda Rusia di Ukraina, manipulasi politik di Brasil, hingga hoaks kesehatan di Asia Tenggara. Amerika, kata Brill, telah mengekspor alat polarisasi global.
Bab 13 – Ancaman Nyata
Buku ini juga bersifat personal. Brill menceritakan bagaimana dirinya dan keluarganya diintimidasi oleh agen disinformasi pro-Rusia setelah NewsGuard mengungkap jaringan propaganda. Dari ancaman online hingga drone yang memfilm rumahnya, bab ini menunjukkan bahwa perang melawan kebohongan punya risiko nyata.
Bab 14 – Saat Mata Tak Bisa Lagi Dipercaya
Teknologi deepfake dan AI generatif membawa tantangan baru. Jika dulu hoaks masih bisa dibantah dengan bukti visual, kini video atau foto pun bisa dipalsukan dengan meyakinkan. AI memperbesar skala dan memperhalus kualitas kebohongan, menjadikan masa depan kebenaran kian suram.
Bab 15 – Menghidupkan Kembali Kebenaran
Namun Brill tidak menutup bukunya dengan pesimisme. Ia menawarkan solusi:
- Regulasi Big Tech, termasuk revisi Section 230.
- Literasi digital massal agar masyarakat kritis terhadap sumber informasi.
- Inisiatif verifikasi independen seperti NewsGuard atau fact-checking lintas negara.
- Pemulihan kepercayaan publik terhadap institusi, media, dan sains.
Menurut Brill, kebenaran memang sedang sekarat, tetapi bukan mati total. Masih ada peluang untuk menghidupkannya kembali jika masyarakat, pemerintah, dan perusahaan mau bergerak.
Analisis: Mengapa Buku Ini Penting?
The Death of Truth bukan sekadar kronik disinformasi. Ia adalah refleksi tentang rapuhnya fondasi demokrasi modern. Demokrasi membutuhkan dua hal: fakta yang disepakati dan kepercayaan pada institusi. Tanpa itu, keputusan bersama tak mungkin dibuat.
Buku ini juga relevan jauh melampaui Amerika. Di Indonesia, kita pun melihat hoaks vaksin, politik identitas di media sosial, hingga perang informasi jelang pemilu. Apa yang dipaparkan Brill sesungguhnya adalah cermin global.
Steven Brill berhasil menyajikan buku yang membuka mata sekaligus mengajak bertindak. Ia menguraikan bagaimana internet yang awalnya dipuji sebagai pembebas, justru berubah menjadi senjata paling ampuh bagi para penjual obat palsu, demagog, dan aktor politik yang ingin memecah-belah dunia.
Namun, pesan utama Brill tetap optimistis: kebenaran bisa “dibangkitkan kembali” jika kita berani melawan kebohongan dengan sistematis, dari ruang kelas hingga ruang sidang, dari algoritma hingga regulasi.
Bagi siapa pun yang peduli pada masa depan demokrasi, The Death of Truth adalah bacaan wajib.