Ekonomi Kebohongan

Di zaman ini, kebohongan bukan sekadar dosa pribadi yang bisa ditebus di ruang pengakuan dosa; ia sudah menjadi industri. Ada rantai nilai, ada model bisnis, ada investor. Steven Brill dalam The Death of Truth (2024) menyebut betapa murahnya ongkos produksi kebohongan di era digital. “When you can’t believe your own eyes,” tulisnya, “you lose the anchor of epistemic trust.” Yang menarik, kehilangan jangkar epistemik ini bukan kecelakaan sejarah—ia adalah outcome yang sangat menguntungkan secara ekonomi.

Algoritma media sosial menemukan formula sederhana: kemarahan, ketakutan, dan kebencian jauh lebih laku daripada kebenaran yang membosankan. Neil Postman dulu mengeluh bahwa televisi membuat kita “menghibur diri sampai mati” (Amusing Ourselves to Death). Kini, algoritma meng-upgrade keluhan itu: kita tidak hanya mati terhibur, tapi juga terpecah belah, terprovokasi, dan terseret teori konspirasi, semua demi engagement.

Apa yang dulu kita kenal sebagai “hoaks” kini menjadi komoditas. Ia punya harga, bahkan punya margin. Perusahaan besar rela memasang iklan di situs konspirasi karena mesin iklan programatik tidak tahu (dan tidak peduli) apakah situs itu menyebarkan penelitian medis palsu atau berita politik buatan. Selama ada klik, ada cuan. Hannah Arendt dalam The Origins of Totalitarianism mengingatkan: “Kebohongan yang konsisten lebih dipercaya daripada kebenaran yang kompleks.” Para penguasa algoritma tampaknya membacanya bukan sebagai peringatan, tapi sebagai manual bisnis.

Lihatlah betapa ironi bekerja sempurna di sini: fact-checker yang membantah hoaks justru memperkuat visibilitas hoaks itu sendiri, karena setiap tautan, bahkan yang membantah, menambah traffic. Orwell dalam 1984 pernah menggambarkan “Ministry of Truth” yang sibuk merevisi arsip. Di era sekarang, revisi itu tidak perlu lagi: cukup buat kebohongan baru, lebih viral, dan kebenaran lama terkubur di timeline.

Dan kemudian datanglah AI. Jika media sosial membuat kebohongan viral, AI membuat kebohongan menjadi massal. Biaya produksi jatuh ke titik nyaris nol. Video presiden palsu? Selesai dalam hitungan menit. Artikel medis dengan rujukan fiktif? Bisa dibuat dengan prompt. Suara anak Anda minta tebusan? Cukup 30 detik sampel audio. Bayangkan return on investment-nya: kebohongan kini berskala industri rumahan, bisa dibuat di dapur dengan laptop murahan.

Steven Brill mengingatkan tentang Section 230, payung hukum yang memberi kekebalan pada platform internet sejak 1996. Dulu tujuannya melindungi inovasi, kini ia menjadi lisensi untuk cuci tangan. Kalau Arendt bicara soal “banalitas kejahatan”—orang biasa yang jadi bagian mesin genosida karena patuh aturan—maka kita punya “banalitas kebohongan”: perusahaan-perusahaan besar yang memproduksi dashboard data tanpa pernah melihat isi kontennya. Selama click-through rate bagus, siapa peduli?

Sarkasme sejarah begitu telanjang: di era tembakau, industri membayar ilmuwan gadungan untuk meragukan fakta bahwa rokok membunuh. Kini, era AI memberi bonus lebih: kita bahkan bisa menciptakan ilmuwan gadungan virtual, lengkap dengan rekam jejak akademik fiktif, wajah simpatik, dan aksen meyakinkan. Murah, cepat, efektif.

Apakah ini berarti kita tidak punya harapan? Brill menutup bukunya dengan ajakan untuk memperbaiki literasi digital, mereformasi regulasi, dan membangun referees baru untuk kebenaran. Saya ingin menambahkan dengan nada satir: mungkin kita harus belajar dari logika pasar itu sendiri. Kalau kebohongan bisa begitu menguntungkan, mungkin kebenaran harus menemukan model bisnisnya. Bayangkan: sebuah startup yang memberi cashback untuk setiap orang yang membaca fact-check, atau program loyalty point bagi mereka yang mengonsumsi berita kredibel. Kebenaran harus punya marketing department.

Tetapi sebelum itu terjadi, mari kita akui dengan jujur: kita sedang hidup dalam ekonomi kebohongan, di mana kebenaran hanyalah niche product. Sebuah barang mewah, kadang dikonsumsi oleh kalangan intelektual yang senang mengutip Arendt dan Baudrillard di kolom opini. Sisanya? Mereka membeli apa yang lebih murah, lebih emosional, lebih menguntungkan bagi mesin iklan.

Apakah ini berarti permainan sudah berakhir? Tidak juga. Seperti yang pernah ditulis Milan Kundera: “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.” Mungkin, di era ini, perjuangan manusia melawan kebohongan adalah perjuangan nalar melawan algoritma. Pertanyaannya hanya: siapa yang lebih tahan banting—akal sehat, atau clickbait?