Bisakah Kewirausahaan Diajarkan? Pelajaran dari Denmark dan Realitas Lapangan



Sejak 2005, sekolah menengah di Denmark punya mata pelajaran yang cukup unik: entrepreneurship. Para siswa diajarkan hal-hal yang biasanya baru ditemui saat kuliah bisnis—mulai dari pemasaran, akuntansi, mindset, hingga valuasi perusahaan. Dua puluh tahun kemudian, sebuah penelitian akademis mencoba menjawab pertanyaan besar: bisakah kewirausahaan diajarkan?

Menurut penelitian itu, jawabannya adalah ya.

Data menunjukkan, siswa yang mendapatkan pendidikan wirausaha sejak dini lebih banyak mendirikan bisnis dibanding angkatan sebelumnya. Lebih jauh, jenis usaha yang mereka jalankan dianggap lebih “berkualitas” (meski definisinya masih longgar). Pendidikan ini bahkan memengaruhi pilihan karier setelah lulus, membuat mereka lebih mungkin terjun ke dunia usaha.

Namun, apakah angka-angka itu cukup untuk menjawab pertanyaan mendasar: apakah mungkin sekolah benar-benar mencetak seorang entrepreneur sejati? Berikut ulasan Gene Marks, President of The Marks Group at The Marks Group, di entrepreneur.com.

 

Belajar Bisnis Itu Mungkin, Tapi Menjadi Entrepreneur Itu Lain Cerita

Mari kita bedakan dulu.
Menjalankan bisnis bisa diajarkan. Membaca laporan keuangan, memahami arus kas dan pajak, menganalisis strategi pemasaran, bahkan menyusun struktur organisasi—semuanya bisa dipelajari di ruang kelas.

Sebagai contoh, seorang pelajar SMA bisa diajarkan bagaimana perusahaan sukses membangun merek, menciptakan skala usaha, dan mencari sumber pendapatan baru. Dengan bekal itu, mereka jelas lebih siap daripada banyak pemilik bisnis yang bahkan tak bisa membaca laporan keuangannya sendiri.

Tetapi menjadi seorang entrepreneur sejati? Itu cerita lain.

 

Entrepreneur Sejati: Lebih dari Sekadar Pengetahuan

Selama lebih dari 20 tahun berkecimpung dalam bisnis kecil, banyak pengusaha yang saya temui menyebut diri mereka “entrepreneur”. Namun, hanya segelintir yang benar-benar punya jiwa wirausaha yang berbeda.

Ambil contoh Andrew, pemilik bisnis daur ulang kertas di New Jersey. Bisnisnya kotor dan tidak glamor. Saya pernah bertanya, apa yang akan ia lakukan jika perusahaannya gagal? Jawabannya sederhana: ia akan tetap berjualan dari basement rumahnya, membeli segulung kertas di satu tempat, menjualnya di tempat lain, atau jadi perantara antara dua pihak. Baginya, entrepreneurship bukan tentang produk, melainkan tentang naluri “beli satu dolar, jual tiga dolar”.

Ada juga Cecilia, pemilik perusahaan pintu dan jendela komersial dengan hampir 300 karyawan. Sekilas bisnisnya biasa saja. Tapi kepemimpinannya luar biasa. Ia tahu nama karyawannya, peduli pada keluarga mereka, dan selalu menekankan bahwa pekerjaan mereka menjaga orang tetap aman dan hangat di rumah. Dedikasi seperti ini tidak lahir dari buku teks.

Lalu ada David, seorang pengusaha yang lebih sinis setelah satu dekade berbisnis. Ia pernah ditipu pemasok, dibayar murah pelanggan, dan ditinggalkan karyawan. Ia keras, realistis, dan hanya percaya pada bukti nyata. Ia bisa mengeluarkan $100.000 untuk peralatan baru karena yakin itu menghasilkan uang, tapi butuh dua tahun untuk membuatnya percaya pada sebuah software. Rasa skeptis itu bukan bawaan lahir, tapi hasil dari luka dan pengalaman.

Ketiga contoh ini memperlihatkan: entrepreneurship sejati bukan sekadar ilmu, melainkan mentalitas.

 

Entrepreneur: Realis, Bukan Pemimpi

Stereotip yang sering muncul adalah entrepreneur sebagai pemimpi besar yang ingin “mengubah dunia”. Nyatanya, para entrepreneur sejati lebih realistis. Mereka paham matematika sederhana: membeli, menjual, menghasilkan margin. Mereka menghubungkan orang, menjaga hubungan, dan punya grit untuk mengeksekusi ide.

Pendidikan bisnis bisa menambah peluang sukses, tapi tanpa dorongan internal, keinginan bertahan, dan kemampuan membaca realita, seseorang akan kesulitan menjadi entrepreneur sejati.

 

Apa yang Benar-Benar Bisa Diajarkan di Sekolah?

Kembali ke Denmark. Yang sebenarnya diajarkan di sekolah-sekolah itu adalah ilmu bisnis dasar: akuntansi, pajak, pemasaran, studi kasus perusahaan besar seperti Airbnb atau Spotify. Siswa-siswa itu kemudian terdorong untuk memulai usaha. Tidak heran banyak yang bersemangat.

Namun, apakah mereka siap menghadapi kenyataan pahit: ditipu, ditinggalkan, dipaksa beradaptasi, dan terus bertahan? Kemungkinan besar tidak. Sama seperti belajar fisika tidak otomatis menjadikan kita fisikawan, atau memegang tongkat bisbol tidak serta-merta membuat kita pemain liga utama, pendidikan wirausaha hanyalah fondasi.

Entrepreneur sejati biasanya lahir dari kombinasi bakat alami, pengalaman nyata, dan proses panjang ditempa kegagalan.

 

Jadi, Bisa atau Tidak Entrepreneurship Diajarkan?

Jawaban paling jujur mungkin: sebagian bisa, sebagian tidak.

  • Yang bisa diajarkan: ilmu bisnis, keterampilan teknis, pola pikir dasar.
  • Yang tidak bisa diajarkan: naluri bertahan, kegigihan menghadapi krisis, dan passion yang membuat seseorang bangkit setelah jatuh berkali-kali.

 

Pendidikan tetap penting—bahkan sangat berguna. Tapi ia bukan jaminan lahirnya entrepreneur sejati. Pada akhirnya, jiwa entrepreneurship sering kali muncul dari sesuatu yang lebih dalam: kombinasi pengalaman, kegagalan, intuisi, dan mungkin bakat bawaan yang diasah seumur hidup.

 

Denmark telah menunjukkan bahwa mengajarkan entrepreneurship sejak dini bisa mendorong lebih banyak anak muda memulai usaha. Itu pencapaian penting. Namun, menjadi entrepreneur sejati jauh melampaui ruang kelas.

Andrew, Cecilia, dan David adalah bukti nyata: entrepreneur bukan sekadar pemimpi, melainkan realist yang tahu kapan harus membeli, menjual, memimpin, dan bertahan.

Dengan kata lain, kita bisa belajar cara menjalankan bisnis, tapi semangat dan naluri entrepreneurship sejati hanya bisa ditempa oleh waktu, pengalaman, dan keberanian untuk terus mencoba.