Kenapa Anak Amerika Makin Malas Membaca? Membedah Krisis Literasi dari Harvard Thinking



“Bacalah, membaca itu penting!” – begitu pesan yang sering didengar anak-anak di sekolah. Tapi, faktanya di Amerika Serikat, minat dan kemampuan membaca justru menurun. Ironis, bukan?

Fenomena ini jadi bahan obrolan hangat dalam podcast Harvard Thinking. Para pakar pendidikan dari Harvard Graduate School of Education—Marty West, Phil Capin, dan Pamela Mason—turun tangan menjawab pertanyaan besar: kenapa literasi di AS merosot, dan apa solusinya?

Mari mulai dari data. Skor literasi siswa Amerika memuncak sekitar 2013–2015. Setelah itu, grafiknya menurun terus.

  • 40% siswa kelas 4 gagal mencapai standar literasi dasar.
  • Sepertiga siswa kelas 8 juga tak sampai level minimum.
  • Yang bikin tambah getir, tren ini sudah menurun jauh sebelum pandemi COVID-19—jadi, virus bukan kambing hitam utama.

“Kalau lihat grafiknya, penurunannya hampir linear selama 10 tahun terakhir,” ujar Marty West.

 

Banyak Sekolah, Banyak Masalah

Berbeda dengan banyak negara lain yang punya kurikulum nasional, di AS sistem pendidikan sangat terfragmentasi. Tiap negara bagian bahkan tiap distrik bisa punya kurikulum berbeda. Hasilnya? Kualitas pengajaran literasi tidak seragam.

Ditambah lagi, pendanaan sekolah sering bergantung pada pajak properti. Sekolah di wilayah kaya mendapat fasilitas mentereng, sementara sekolah di kawasan miskin harus puas dengan sumber daya terbatas. Ketimpangan ini jelas berimbas pada kualitas membaca anak-anaknya.

 

Dua Aliran Besar: Fonik vs Cinta Membaca

Debat panjang soal cara mengajarkan membaca juga jadi faktor.

  1. Balanced Literacy: fokus menumbuhkan cinta membaca. Anak diajak memilih bacaan, menemukan kesenangan, dan membangun makna sendiri.
  2. Science of Reading: berbasis riset, menekankan fonik—menghubungkan huruf dengan suara, membongkar struktur bahasa secara sistematis.

Mana yang lebih baik? Para pakar sepakat: fonik penting, tapi bukan tujuan akhir. Anak tetap perlu merasa bacaan itu relevan dan menyenangkan.

Pamela Mason bercerita soal seorang siswa kelas tiga yang ogah-ogahan membaca. Setelah diberi buku-buku sains—topik yang ia sukai—anak itu berubah total. Motivasi bisa mengubah segalanya.

 

Generasi Layar: Baca Buku Kalah Saing

Mungkin ini tidak mengejutkan: anak-anak Amerika makin jarang membaca untuk kesenangan.

📉 2012 – 27% remaja usia 13 tahun membaca buku setiap hari.
📉 2023 – tinggal 14%.

Sebaliknya, yang hampir tak pernah membaca melonjak jadi 31%.

Apa penyebabnya? Tak sulit menebak. TikTok, YouTube, gim daring, Netflix—semuanya menawarkan hiburan instan. Buku, yang butuh konsentrasi dan waktu, jadi kalah saing.

Tapi ada faktor lain yang menarik: orang dewasa juga jarang memberi contoh.

“Kapan anak-anak melihat kita benar-benar asyik membaca?” tanya Mason. Bahkan saat sekolah mengadakan sesi Drop Everything and Read, banyak guru justru sibuk memeriksa tugas. Padahal modeling sederhana ini bisa menularkan semangat membaca lebih efektif daripada sekadar ceramah.

 

Mississippi: Bukti Bahwa Perubahan Mungkin

Meski suram, ada kisah sukses. Negara bagian Mississippi berhasil meningkatkan literasi lewat langkah sistematis:

  • Fokus pada kelas awal (K–3).
  • Investasi pada pelatihan guru.
  • Materi ajar berkualitas tinggi.
  • Program literacy coaching yang berkesinambungan.

Louisiana juga patut dicatat: satu-satunya negara bagian dengan skor literasi lebih baik di 2023 dibanding sebelum pandemi.

Pesannya jelas: tidak ada jalan pintas. Butuh kombinasi kebijakan, kurikulum, dan dukungan guru.

 

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Meski obrolan ini fokus pada AS, pelajarannya relevan di mana saja, termasuk Indonesia. Beberapa resep sederhana bisa jadi inspirasi:

Mulai dari dini – intervensi di usia 4–8 tahun menentukan masa depan literasi.
Latih guru, bukan hanya ganti kurikulum – pendampingan berkelanjutan lebih penting daripada workshop sesaat.
Hidupkan budaya membaca di rumah – membaca nyaring sebelum tidur, klub buku keluarga, atau sekadar berbagi cerita dari buku.
Batasi distraksi digital – bukan melarang total, tapi mengajarkan keseimbangan.
Tunjukkan teladan – anak perlu melihat orang tua atau guru menikmati buku.

 

Membaca: Jalan ke Imajinasi dan Identitas

Pada akhirnya, membaca bukan sekadar kemampuan teknis. Ia adalah jalan menuju pemahaman, imajinasi, bahkan identitas intelektual.

Krisis literasi di Amerika mengingatkan kita bahwa membaca bukan hanya urusan sekolah, melainkan misi bersama. Jika anak-anak kita lebih sering melihat layar daripada buku, jangan kaget bila generasi mendatang kehilangan kesenangan membaca.

Mungkin waktunya kita kembali sederhana: buka buku, baca dengan suara keras, tertawa bersama di sebuah paragraf lucu, atau terharu pada kisah yang menyentuh. Karena di situlah literasi bukan lagi kewajiban, tapi kesenangan yang menular.