Lebih Banyak Pemimpin Kaum Hawa, Lebih Sedikit Rekrutmen Perempuan?
![]() |
Ilustrasi Kepemimpinan perempuan dalam perusahaan |
Judul riset ini terdengar kontradiktif. Kehadiran perempuan di pucuk pimpinan jelas kabar baik. Namun, studi terbaru di Amerika Serikat yang dimuat di majalah HBR justru menemukan paradoks: semakin banyak perempuan menduduki kursi manajemen senior, semakin sedikit perusahaan merekrut perempuan di level junior.
Penelitian itu dilakukan selama tujuh tahun terhadap 250 firma hukum terbesar di AS. Para peneliti menelusuri data jumlah partner dan associate perempuan melalui survei tahunan Minority Corporate Counsel Association. Hasilnya mencengangkan: setiap penambahan sembilan perempuan di posisi senior, rata-rata jumlah penawaran kerja untuk kandidat perempuan di level bawah justru berkurang satu.
Dampaknya bukan sepele. Analisis tambahan menunjukkan bahwa jika sebuah firma tadinya menawarkan sepuluh posisi entry-level kepada perempuan lalu turun menjadi sembilan, tingkat penerimaan tawaran kerja oleh kandidat perempuan anjlok dari 41 persen menjadi 35 persen. Penurunan kecil di hulu ternyata bisa berlipat ganda efeknya di hilir.
Para peneliti memperingatkan, sedikit saja berkurang jumlah perempuan yang masuk di level awal, maka dalam jangka panjang komposisi gender di perusahaan bakal timpang. Rekrutmen yang lebih maskulin di pintu masuk akan menyulitkan tercapainya keseimbangan di jenjang berikutnya.
Rasa Cukup yang Menyesatkan
Mengapa hal ini terjadi? Para peneliti menyebut fenomena ini sebagai “ilusi pencapaian.” Perusahaan yang sudah punya lebih banyak perempuan di jajaran senior merasa seolah-olah persoalan keberagaman gender sudah selesai. Akibatnya, investasi untuk mendorong perekrutan perempuan di level bawah berkurang drastis.
Dalam bahasa sederhana: keberadaan perempuan di atas dianggap cukup untuk membuktikan perusahaan sudah adil. Padahal, tanpa keberlanjutan di level junior, piramida kepemimpinan tidak akan pernah stabil.
Studi itu juga mencatat satu solusi yang relatif sederhana: libatkan lebih banyak perempuan di komite perekrutan dan tim keberagaman (DEI). Begitu perempuan mengisi minimal 20 persen kursi di komite itu, perhatian perusahaan terhadap isu keberagaman meningkat tajam.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Fenomena ini relevan di Indonesia. Selama satu dekade terakhir, jumlah perempuan di posisi direktur dan komisaris perusahaan publik meningkat. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2022 mencatat sekitar 18 persen posisi direksi di emiten Bursa Efek Indonesia dipegang perempuan. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata Asia Tenggara, tetapi masih jauh dari seimbang.
Namun, di level rekrutmen awal, cerita berbeda. Survei McKinsey dan LeanIn.Org menunjukkan bahwa banyak perempuan Indonesia justru tertahan di level entry dan menengah. Hambatan ganda muncul: bias rekrutmen, stereotip peran domestik, serta minimnya dukungan sistemik seperti cuti melahirkan yang setara atau fasilitas penitipan anak di tempat kerja.
Sering kali perusahaan bangga punya satu atau dua direktur perempuan, lalu merasa sudah cukup progresif. Padahal, kalau kita lihat pipeline di level staf, jumlah perempuan justru stagnan.
Jika perusahaan gagal menjaga arus masuk perempuan di jenjang awal, dampaknya akan merembet ke atas. Jalur karier ke posisi manajerial akan semakin sempit. Inilah yang disebut leaky pipeline—pipa karier yang bocor, di mana perempuan hilang sedikit demi sedikit sebelum sampai ke puncak.
Studi di AS memberi pelajaran berharga: masalah bukan hanya soal berapa banyak perempuan di kursi direktur, tapi juga bagaimana memastikan pasokan talenta perempuan di level bawah terus mengalir.
Bagaimana Jalan Keluarnya?
Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh:
Transparansi Rekrutmen – Perusahaan perlu mempublikasikan data gender dalam perekrutan. Dengan begitu, publik bisa menilai apakah komposisi kandidat seimbang.
Kuota di Komite Rekrutmen – Melibatkan perempuan minimal 20 persen di tim perekrutan terbukti meningkatkan kepedulian pada isu keberagaman.
Pipeline yang Berkelanjutan – Program magang, mentoring, dan pelatihan khusus untuk karyawan perempuan bisa memastikan suplai talenta tidak putus.
Kebijakan Ramah Keluarga – Fasilitas cuti, penitipan anak, dan fleksibilitas kerja bisa menekan angka keluarnya perempuan dari dunia kerja.
Kehadiran pemimpin perempuan adalah capaian penting. Namun, riset ini mengingatkan bahwa simbol di puncak tak boleh membuat kita abai terhadap pondasi di dasar. Tanpa strategi rekrutmen yang konsisten, keberagaman gender hanya akan menjadi dekorasi, bukan transformasi.
Indonesia, dengan jumlah perempuan pekerja yang besar namun partisipasi kepemimpinannya masih terbatas, perlu waspada terhadap jebakan ini. Karena membangun kesetaraan gender bukan hanya soal siapa yang duduk di ruang rapat direksi, tetapi juga siapa yang diberi kesempatan pertama saat melangkah masuk ke dunia kerja.