HBR: Mengapa Pendiri Startup Perlu Berpikir Seperti Ilmuwan

 


Tidak ada resep pasti untuk membangun sebuah startup yang sukses. Beragam pendekatan bisnis sudah dicoba: Business Model Canvas, Balanced Scorecard, hingga strategi manajemen mutakhir lainnya. Ulasan berikut merupakan saduran dari tulisan yang diterbitkan oleh Harvard Business Review (HBR).

Sebuah studi terbaru di Eropa memberi gambaran menarik: perusahaan rintisan yang memakai cara kerja ala ilmuwan—merumuskan hipotesis, mengujinya, lalu menyesuaikannya—ternyata lebih berhasil dibanding mereka yang hanya mengandalkan intuisi.

Dalam riset itu, startup yang menerapkan metode ilmiah mencatat pendapatan lebih tinggi dan lebih cepat meninggalkan ide-ide yang tidak layak dikembangkan. Di kelompok 25 persen teratas, rata-rata mereka menghasilkan €28 ribu lebih banyak daripada perusahaan pembanding. Bahkan, di 5 persen teratas, selisihnya melonjak hingga €492 ribu.

“Awalnya kami bertanya, mengapa begitu banyak startup gagal?” ujar Alfonso Gambardella, profesor manajemen korporasi di Universitas Bocconi, salah satu penulis studi. “Setelah kami teliti, banyak pendiri startup sebenarnya tidak cukup piawai memprediksi masa depan bisnisnya. Itu merugikan ketika mereka harus membuat keputusan penting.”

 

Sains dalam Dunia Startup

Studi itu melibatkan 759 startup muda di Eropa. Para pendirinya direkrut melalui media sosial, buletin, majalah, hingga berbagai acara kewirausahaan. Mereka mendapat pelatihan sejumlah kerangka strategi bisnis, serta teknik pengumpulan bukti seperti wawancara kualitatif, survei, dan uji coba A/B.

Bedanya, sebagian kelompok juga diajari cara menerapkan metode ilmiah dalam strategi itu. Mereka diminta membangun teori tentang elemen penting bisnisnya, lalu mengujinya dengan eksperimen yang ketat. Kelompok pembanding bebas menggunakan metode apa pun, tanpa kewajiban merumuskan dan menguji hipotesis.

Selama berbulan-bulan, tim peneliti mengumpulkan data dan mewawancarai para pendiri secara rutin. Salah satu startup yang mereka ikuti adalah Mimoto, penyedia layanan berbagi skuter listrik.

 

Belajar dari Mimoto

Mimoto semula meyakini mahasiswa lebih suka naik skuter daripada berjalan kaki di kampus. Mereka menaruh puluhan unit skuter di sekitar universitas kota. Hasilnya? Mahasiswa ternyata tak lebih banyak memakai skuter dibanding orang lain.

Data justru menunjukkan pengguna terbanyak datang dari berbagai kalangan dengan pola perjalanan tak menentu. Dari temuan itu, tim Mimoto mengubah arah. Mereka menemukan pasar baru: para profesional muda, terutama pengacara, yang sibuk mondar-mandir menemui klien.

Mimoto pun mengalihkan fokus ke segmen itu. “Di mana pun memulai, yang penting adalah terus menguji dan menyesuaikan strategi,” kata Gambardella. Dengan bereksperimen, startup bisa mengubah haluan lebih cepat ketimbang hanya berpegang pada insting awal.

Kisah Mimoto bukan pengecualian. Banyak perusahaan besar lahir dari “belokan tajam” semacam ini. YouTube, misalnya, pernah dirancang sebagai situs kencan sebelum beralih menjadi platform video. PayPal mulanya perusahaan keamanan internet sebelum fokus ke pembayaran daring. Intinya, kunci dari pivot yang sukses bukan pada teori awal, tapi pada jawaban eksperimen di lapangan: apa yang sebenarnya diinginkan konsumen?

 

Bagaimana Cara Menerapkannya?

Metode ilmiah bukan hal rumit. Setiap pendiri startup bisa memulainya dengan langkah sederhana:

Rumusan hipotesis utama
Misalnya, Mimoto berteori mahasiswa akan memakai skuter untuk mengejar jadwal kuliah. Dengan menuliskannya secara jelas, mereka bisa menguji hipotesis itu melalui observasi nyata.

Mulai dari intuisi yang paling masuk akal
“Anda harus mulai dari suatu titik,” kata Gambardella. Tapi, selalu siapkan teori cadangan jika yang pertama terbukti salah.

Kenali ketergantungan kritis
Leonardo Del Vecchio, pendiri Luxottica, pernah berteori kacamata bukan sekadar alat bantu penglihatan, melainkan aksesori fesyen. Sebelum melangkah, ia perlu menjawab dua hal: bisakah Luxottica memproduksi desain modis? Dan bisakah menjual langsung ke konsumen, bukan hanya lewat optik? Ia menguji keduanya dengan menggandeng rumah mode Armani serta mengembangkan saluran distribusi baru. Hasilnya: Luxottica kini menjadi raksasa kacamata dunia.

Uji kembali dan perluas
Setelah hipotesis awal gugur, Mimoto membangun teori baru: profesional muda butuh skuter. Mereka pun mengujinya di kawasan perkotaan dengan pola mobilitas tinggi. Siklus pengujian terus berulang hingga menemukan model yang layak.

 

Gagal Itu Biasa

Gambardella menekankan, wirausahawan yang memakai metode ilmiah bukanlah “visioner” yang merasa selalu benar. Mereka justru sadar teorinya bisa keliru, lalu siap mengubahnya. Kalau semua teori gagal, mereka berani menutup bisnis.

“Jangan takut gagal,” ujarnya. “Beberapa kali gagal justru resep menuju kesuksesan di masa depan.”

Pesan ini relevan bagi para pendiri startup di Indonesia. Dalam ekosistem yang kian sesak dan kompetitif, berpikir seperti ilmuwan bisa menjadi perbedaan antara perusahaan yang layu sebelum berkembang dengan mereka yang mampu bertahan.