Integritas Lebih Penting dari Kompetensi: Pelajaran Kepemimpinan ala Ivan Cahyadi
“Number one is not competency, it is integrity.”
Kalimat itu meluncur mantap dari mulut Ivan Cahyadi di hadapan ratusan orang
yang hadir dalam Pesta Rakyat 2025. Presiden Direktur PT HM Sampoerna Tbk itu
tidak sedang berbicara soal produk, melainkan tentang nilai dasar yang ia
yakini sebagai fondasi kepemimpinan.
Bagi Ivan, kompetensi hanyalah nomor tiga dalam urutan prioritas. Di atasnya ada dua hal lain: integritas dan drive. “Habislah perusahaan kalau punya orang kompeten tapi tidak punya integritas,” katanya.
Sejak bergabung di Sampoerna hampir tiga dekade lalu, Ivan belajar bahwa kemampuan teknis dapat ditempa melalui pelatihan dan pengalaman. Tetapi integritas—kejujuran, tanggung jawab, dan konsistensi moral—tidak bisa dibeli atau dipaksakan.
Ia menuturkan pengalamannya saat masih muda, menjalani proses rekrutmen yang melelahkan: 18 kali wawancara, dua tingkat direksi, hingga berminggu-minggu proses seleksi. Alih-alih membuatnya lelah, prosedur itu menegaskan bahwa perusahaan ini serius dalam mencari orang dengan nilai, bukan sekadar otak encer.
Ivan tidak pernah membayangkan dirinya akan duduk di kursi presiden direktur. Lulusan ekonomi dan keuangan itu awalnya membidik karier di bank atau konsultan. Tapi nasib membawanya ke Surabaya, ke sebuah perusahaan rokok berusia lebih dari satu abad.
Ketika ditanya mimpi terbesarnya, ia dengan polos menjawab ingin menjadi presiden direktur dalam sepuluh tahun. Jawaban naif itu justru menjadi motor penggerak. Setahun berselang, ia sudah melesat lebih cepat dari rekan seangkatannya. “Saya sadar, masih banyak yang saya tidak tahu. Dari situlah perjalanan pembelajaran itu dimulai,” katanya.
Respect the Past, Embrace the Future
Mengelola perusahaan yang berumur 112 tahun bukan perkara mudah. Tradisi dan ortodoksi begitu kental, sementara dunia di luar bergerak cepat. Ivan merumuskan prinsip sederhana: “Respect the past, embrace the future.”
Banyak perusahaan tumbang karena terjebak pada romantisme masa lalu atau ketakutan akan masa depan. Sampoerna memilih jalan tengah: menghargai warisan pendiri, sembari membuka diri pada inovasi. Dari filosofi “tiga tangan”—melayani pelanggan, berlaku adil pada pemangku kepentingan, serta memberi manfaat bagi masyarakat—hingga investasi laboratorium riset senilai ratusan juta dolar, semua digerakkan oleh semangat menjaga relevansi.
Bagi Ivan, kepemimpinan sejati bukanlah soal jabatan atau kursi empuk di ruang direksi. “Leadership is when you realize it’s no longer about you. It’s about others,” ujarnya.
Ia menolak memimpin hanya dengan angka—revenue, margin, laba bersih. Baginya, pemimpin yang baik tahu kapan harus mendengarkan, tahu bagaimana menumbuhkan orang lain, dan tahu cara menyalakan drive di tim. Hubungan personal, komunikasi yang cair, bahkan kebersamaan di luar ruang rapat menjadi modal penting.
Pengalaman itu pernah ia alami bersama jajaran eksekutif lain. Suatu kali, mereka diminta presentasi di hadapan manajemen senior. Tanpa koordinasi, isi paparan masing-masing ternyata saling melengkapi, seolah satu naskah. “Frekuensinya sudah sama. Alignment tercipta bukan di meja rapat, melainkan di keseharian,” kata Ivan.
Integritas yang Menjadi Napas
Dalam pandangan Ivan, integritas bukan sekadar slogan. Ia mencontohkan bagaimana Sampoerna membina lebih dari 90 ribu pekerja, dari buruh linting hingga manajer. Banyak di antaranya bukan lulusan perguruan tinggi, tapi anak-anak mereka bisa meraih gelar sarjana.
Ada pula program pemberdayaan pedagang warung dan petani tembakau. Omzet naik, kualitas hidup membaik, dan multiplier effect tercipta. Semua itu berawal dari komitmen sederhana: bekerja dengan benar. “Kalau 90 ribu orang ini masing-masing bisa melahirkan satu atau dua sarjana, dampaknya akan luar biasa,” ujarnya.
Apa yang bisa dipetik dari cara Ivan memimpin? Bahwa perusahaan sebesar apa pun akan rapuh tanpa integritas. Bahwa drive bisa mengalahkan bakat. Bahwa pemimpin sejati hadir bukan untuk dirinya, melainkan untuk tim dan masyarakat yang lebih luas.
Di tengah gejolak geopolitik, disrupsi teknologi, dan kompetisi global, pesan Ivan terasa relevan: integritas adalah jangkar, drive adalah mesin, kompetensi adalah roda.
Satu tanpa yang lain mungkin masih bisa jalan. Tetapi tanpa integritas, semuanya bisa runtuh seketika.