Guru Hebat Berani Mengatakan “Saya Tidak Tahu”

 

Ada satu momen sederhana yang diceritakan oleh Hendra Kwee, pelatih Tim Olimpiade Fisika Indonesia, dalam wawancaranya di Endgame #234. Saat SMA, ia memiliki guru biologi bernama Ibu Lili Ros. Suatu ketika materi pelajaran sudah habis, lalu sang guru berkata, “Kalian boleh bertanya apa saja.”

Siswa pun menanyakan beragam hal: dari mengapa orang menguap, hingga topik reproduksi yang biasanya dianggap tabu. Menariknya, sang guru tidak berusaha tahu segalanya. Jika ada pertanyaan di luar kemampuannya, beliau menjawab dengan jujur: “Saya tidak tahu.”

Bagi sebagian orang, itu terlihat sepele. Namun bagi Hendra, momen itu sangat berharga: guru yang mau mengakui keterbatasannya justru menumbuhkan rasa ingin tahu murid. Inilah pelajaran yang jarang hadir dalam dunia pendidikan kita.

 

Paradoks Guru: Tahu Semua vs Rendah Hati

Dalam budaya pendidikan Indonesia, guru sering diposisikan sebagai sumber kebenaran absolut. Ungkapan “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” menegaskan hierarki feodal yang menempatkan guru seolah serba tahu.

Namun realitasnya, tak ada manusia yang bisa menguasai semua jawaban. Ilmu pengetahuan berkembang, pertanyaan siswa semakin beragam, dan dunia terus berubah. Dalam kondisi itu, guru yang berpura-pura tahu justru berisiko menutup ruang eksplorasi.

Sebaliknya, guru yang berani berkata “saya tidak tahu” menunjukkan dua hal penting: kerendahan hati dan keterbukaan belajar. Bagi murid, itu sinyal bahwa pertanyaan mereka valid, meski sulit. Bagi guru, itu peluang untuk belajar bersama.

 

Mengapa Kejujuran Guru Penting?

Mendorong Critical Thinking
Murid belajar bahwa pertanyaan tak selalu punya jawaban instan. Mereka terdorong mencari sendiri, membaca lebih banyak, atau berdiskusi lebih lanjut.

Menghapus Budaya Feodal
Guru bukan dewa, melainkan fasilitator. Dengan mengakui keterbatasan, relasi guru-murid menjadi lebih egaliter.

Memberi Teladan Rendah Hati
Guru yang jujur menunjukkan bahwa belajar adalah proses seumur hidup. Bahkan sang pengajar pun masih terus belajar.

Mengurangi Ketakutan Bertanya
Murid tak lagi takut mengajukan pertanyaan “aneh”. Mereka tahu gurunya tidak akan menghakimi, melainkan terbuka.

 

Pelajaran dari Dunia Sains

Hendra Kwee menceritakan pengalamannya di Amerika Serikat. Seorang profesor senior yang pernah terlibat dalam negosiasi nuklir Amerika–Uni Soviet tak segan mengakui kesalahan soal ujian di depan kelas. Ia menyebut nama mahasiswa yang menemukan error itu, lalu mengoreksi soalnya.

Profesor kelas dunia bisa berkata jujur, lalu menjadikannya momen belajar kolektif. Kontras sekali dengan budaya kita, di mana banyak pengajar masih takut terlihat salah. Padahal, justru pengajar hebat biasanya semakin rendah hati.

 

Tantangan di Indonesia: Budaya “Sok Tahu”

Sayangnya, dalam sistem pendidikan kita, mengakui tidak tahu sering dianggap kelemahan. Guru bisa merasa kehilangan wibawa, murid bisa dianggap menantang, bahkan orang tua bisa menilai guru tidak kompeten.

Budaya “sok tahu” ini berdampak luas:

  • Murid tidak terbiasa berpikir kritis, hanya menerima jawaban jadi.

  • Pertanyaan di luar kurikulum sering ditepis.

  • Eksperimen, rasa ingin tahu, dan kreativitas terhambat.

Akibatnya, murid tumbuh menjadi generasi yang patuh pada “kebenaran resmi” tapi lemah dalam eksplorasi mandiri.

 

Guru Sebagai Role Model

Bayangkan sebuah kelas fisika. Seorang murid bertanya, “Kenapa langit berwarna biru?” Guru bisa saja memberi jawaban textbook tentang hamburan Rayleigh. Tapi jika ada pertanyaan lanjutan yang belum ia kuasai, pilihan jujur dengan berkata “Saya tidak tahu, mari kita cari tahu bersama” akan menciptakan pengalaman belajar yang lebih bermakna.

Guru dalam posisi ini bukan sekadar penyampai materi, melainkan teladan. Ia mengajarkan murid bahwa kebodohan bukan aib, melainkan titik awal pengetahuan. Inilah hakikat pendidikan: perjalanan bersama dalam mencari kebenaran.

 

Transformasi Mindset Guru

Untuk melahirkan lebih banyak guru hebat yang berani mengakui ketidaktahuan, ada beberapa langkah transformasi:

  1. Perbaikan Kualitas Pelatihan Guru
    Calon guru harus dilatih bukan hanya soal metodologi mengajar, tetapi juga mindset: bahwa mengajar bukan berarti tahu segalanya.

  2. Penghargaan pada Sikap Terbuka
    Sekolah perlu memberi ruang bagi guru yang transparan terhadap keterbatasan, bukan menghakiminya.

  3. Komunitas Belajar Guru
    Dorong kolaborasi antar-guru untuk berbagi pertanyaan sulit dan mencari jawaban bersama, sebagaimana murid belajar kolaboratif.

  4. Mengurangi Beban Administratif
    Guru yang sibuk dengan paperwork tidak punya waktu untuk riset kecil-kecilan atau eksplorasi pengetahuan baru.

     

Dampak Jangka Panjang

Guru yang rendah hati melahirkan murid yang kritis. Murid kritis melahirkan masyarakat yang inovatif. Masyarakat inovatif melahirkan negara yang maju.

Sebaliknya, guru yang berpura-pura tahu melahirkan murid penurut. Murid penurut melahirkan masyarakat pasif. Masyarakat pasif melahirkan negara yang jalan di tempat.

Pertanyaan sederhana “mengapa langit biru?” bisa jadi pintu menuju Nobel Fisika, jika diberi ruang tumbuh. Tapi bisa juga berakhir di catatan merah, jika dibungkam dengan jawaban normatif.

 

Guru Hebat adalah Guru yang Mau Belajar

Dalam era digital, jawaban teknis bisa dicari di Google. Yang dibutuhkan murid bukan sekadar informasi, melainkan keberanian untuk bertanya dan kemampuan untuk mencari tahu.

Di sinilah peran guru paling vital: bukan menjadi ensiklopedia berjalan, melainkan sahabat belajar. Guru hebat bukan yang tahu segalanya, melainkan yang rendah hati berkata “saya tidak tahu, mari kita cari tahu bersama.”

Jika paradigma ini tumbuh di kelas-kelas Indonesia, kita bisa berharap lahir generasi yang lebih kritis, lebih berani, dan lebih siap menghadapi tantangan dunia.