Pendidikan Indonesia: Antara Nyantai dan Urgensi Masa Depan
Indonesia sedang berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, bangsa ini tengah menatap optimisme menuju Indonesia Emas 2045, dengan bonus demografi yang dianggap sebagai kekuatan pendorong.
Namun di sisi lain, realitas pendidikan kita justru menunjukkan paradoks: suasana belajar yang terlalu santai, budaya hafalan yang kaku, dan rasa urgensi yang lemah menghadapi kompetisi global.
Percakapan dengan Hendra Kwee, pendiri Yayasan Simetri sekaligus pelatih Tim Olimpiade Fisika Indonesia dalam program Youtube Gita Wirjawan Endgame #234, membuka jendela tentang problem struktural dan kultural pendidikan kita.
Ia menyodorkan refleksi yang tajam: tanpa kesadaran mendesak (sense of urgency) untuk memperbaiki kualitas pendidikan, khususnya di bidang sains dan teknologi, cita-cita menjadi negara maju bisa berubah sekadar utopia.
Guru, Rasa Ingin Tahu, dan Budaya Santai
Salah satu pengalaman kecil yang diceritakan Hendra justru sarat makna. Saat SMA, gurunya memberi kesempatan murid bertanya apa saja di luar materi. Ada yang bertanya soal menguap, ada juga soal reproduksi. Menariknya, sang guru berani menjawab, “Saya tidak tahu.”
Kerendahan hati ini, kata Hendra, mendorong siswa untuk terus mengeksplorasi. Guru yang mau jujur ketika tidak tahu justru membuka ruang belajar bersama. Sayangnya, sikap seperti ini masih jarang ditemukan. Banyak guru yang lebih memilih “menutup” pertanyaan agar kelas berjalan sesuai rencana.
Budaya santai yang dimaksud bukan hanya soal ritme belajar yang longgar, tetapi juga kurangnya dorongan kritis. Siswa terbiasa menghafal definisi sosiologi kata per kata atau tanggal perjanjian sejarah, tanpa didorong untuk mengaitkan peristiwa dengan konteks yang lebih luas. Akibatnya, ketika masuk dunia nyata yang penuh kompleksitas, mereka gagap menghadapi masalah yang menuntut analisis.
Perbandingan Global: Indonesia Masih Tertinggal
Untuk memahami urgensi pendidikan, mari kita bandingkan angka. Indonesia saat ini hanya mampu melahirkan sekitar 250.000 lulusan STEM (sains, teknologi, engineering, matematika) per tahun. Bandingkan dengan China yang menghasilkan lebih dari 4 juta dan India sekitar 2,5 juta lulusan STEM setiap tahun.
Jika target Indonesia Emas 2045 menuntut transformasi ekonomi berbasis inovasi, angka ini jelas terlalu kecil. Dengan bonus demografi sekitar 70 juta anak muda usia sekolah, kita butuh minimal satu juta lulusan STEM setiap tahun. Dengan pace saat ini, butuh ratusan tahun untuk mencapai level yang sama dengan China atau bahkan Malaysia yang konversinya lebih tinggi.
Selain itu, skor PISA (Programme for International Student Assessment) Indonesia masih berada di peringkat 69 dari 81 negara untuk literasi dan numerasi. Singapura menempati posisi pertama dunia, sementara Vietnam masuk 30 besar. Pertanyaannya: bagaimana mungkin Indonesia bisa bersaing memproduksi teknologi canggih, jika kemampuan dasar membaca dan berhitung anak-anak kita masih rendah?
Masalah Struktural: Guru dan Gaji yang Tidak Seimbang
Hendra Kwee menggarisbawahi satu titik krusial: kualitas guru. Banyak guru di Indonesia bukanlah talenta terbaik yang bercita-cita menjadi pendidik. Banyak yang masuk profesi ini karena keterpaksaan.
Faktor utama? Kompensasi yang rendah. Rata-rata gaji guru di Indonesia hanya Rp2–3 juta per bulan. Bandingkan dengan Singapura atau Korea Selatan, di mana guru digaji Rp40–50 juta per bulan. Mustahil kita berharap guru berkualitas top jika insentifnya tidak kompetitif.
Selain gaji, beban administrasi dan birokrasi yang menumpuk membuat guru kehilangan waktu untuk mengasah ilmu atau berinovasi dalam mengajar. Kurikulum yang serba padat dengan belasan mata pelajaran tiap semester juga membuat proses belajar hanya menyinggung permukaan, bukan mendalami substansi.
Budaya Akademik: Gelar, Sertifikat, dan Paperwork
Fenomena lain yang disoroti adalah obsesi masyarakat terhadap gelar dan sertifikat. Banyak orang lebih bangga dengan lembar kertas ketimbang kualitas pengetahuan.
Contoh paling nyata adalah kewajiban dosen atau mahasiswa mengejar “sertifikat” konferensi alih-alih mengejar substansi ilmiah. Dalam banyak kasus, pendidikan diukur dari paperwork—absensi, presensi, kelengkapan administrasi—bukan dari hasil pembelajaran atau inovasi.
Budaya ini membuat pendidikan kehilangan orientasi. Alih-alih melahirkan inovator, sistem justru menghasilkan lulusan yang jago mengejar checklist, bukan hasil.
Nyantai vs Urgensi: Belajar dari China
Di China, siswa SMP bisa belajar hingga pukul 11 malam, terutama menjelang ujian masuk universitas. Tekanan luar biasa ini lahir dari kesadaran bahwa pendidikan menentukan masa depan.
Sebaliknya, di Indonesia, banyak siswa merasa tenang-tenang saja. Jika tidak lulus ujian, bisa remedial. Jika nilainya rendah, gurulah yang dipusingkan. Alhasil, murid tidak merasa ada urgency untuk belajar lebih keras.
Tentu, kita tidak menginginkan sistem yang membuat anak stres berlebihan. Namun tanpa kesadaran akan urgensi, mustahil lahir etos kerja dan mentalitas kompetitif yang dibutuhkan untuk menghadapi dunia kerja global.
Brain Drain atau Brain Circulation?
Sering kali muncul kekhawatiran bahwa anak-anak pintar Indonesia yang kuliah ke luar negeri tidak kembali. Hendra menepis pandangan ini. Menurutnya, istilah yang lebih tepat adalah brain circulation, bukan brain drain.
Artinya, talenta Indonesia di luar negeri tetap bisa berkontribusi lewat jejaring, riset kolaboratif, hingga menarik investasi ke dalam negeri. Dengan membangun ekosistem yang sehat, justru kita harus mendorong lebih banyak anak muda menembus universitas top dunia, lalu membuka jembatan kolaborasi global.
Jalan Panjang Menuju Indonesia Emas
Pendidikan bukan proyek jangka pendek. Investasi yang dilakukan hari ini baru akan terasa hasilnya 20–30 tahun mendatang. China adalah contoh nyata: puluhan tahun lalu mereka mengirim ribuan anak terbaik ke luar negeri, kini hasilnya terlihat dalam dominasi teknologi dan sains.
Indonesia harus meniru pola ini dengan adaptasi lokal. Membenahi kualitas guru, mengubah budaya akademik dari hafalan ke pemahaman, menanamkan critical thinking sejak dini, dan memberikan insentif yang layak. Tanpa itu semua, bonus demografi hanya akan menjadi beban demografi.
Ada satu kalimat kunci yang bisa kita ambil dari perbincangan panjang ini: “Kalau kamu bisa jadi yang terbaik, kamu pasti sukses. Komit dengan itu.”
Indonesia punya kolam besar talenta muda. Namun tanpa urgensi, talenta itu hanya akan berenang di tempat. Sudah saatnya kita beralih dari budaya santai menuju budaya serius dalam pendidikan—serius menghargai guru, serius membangun STEM, dan serius menanamkan etos kerja.
Jika tidak, narasi Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi mimpi indah yang tak pernah terwujud.