Meritokrasi vs Patronase: Jalan Terjal Indonesia
Di tengah percaturan global yang semakin kompetitif, banyak negara menoleh ke satu kata kunci lama yang kini terdengar kembali relevan: meritokrasi. Prinsip bahwa posisi dan tanggung jawab seharusnya dipegang oleh mereka yang paling kompeten, bukan oleh mereka yang sekadar dekat dengan kekuasaan.
Singapura kerap dipuji sebagai teladan. Lee Kuan Yew menancapkan meritokrasi sebagai pilar pembangunan negara kecil yang miskin sumber daya itu. Dari seleksi birokrat yang ketat, gaji pejabat publik yang kompetitif, hingga sistem promosi yang hanya berpihak pada kinerja, ia memastikan hanya yang terbaik yang bisa menduduki posisi strategis. Hasilnya tampak jelas: Singapura melesat dari kampung nelayan menjadi pusat finansial dunia dalam setengah abad.
China di bawah Deng Xiaoping juga menampilkan wajah meritokrasi dalam versinya. Reformasi sejak akhir 1970-an mendorong promosi pejabat berdasarkan kemampuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal. Tekanan pada output menjadikan banyak teknokrat terpilih. Namun di balik itu, praktik patronase tetap hidup. Loyalitas pada jaringan partai atau figur politik tertentu berjalan beriringan dengan kinerja ekonomi. Maka lahirlah apa yang oleh sejumlah pengamat disebut sebagai “meritokrasi yang korup”: hasil pembangunan ada, tetapi kebocoran dan kolusi pun tetap mewarnai.
Indonesia dan Lingkar Patronase
Indonesia punya cerita lain. Demokratisasi pasca-1998 membuka ruang partisipasi, tetapi juga menumbuhkan politik patronase dalam bentuk baru. Desentralisasi membuat distribusi jabatan sering kali ditentukan bukan oleh prestasi, melainkan oleh loyalitas politik, hubungan kekerabatan, atau pertimbangan elektoral jangka pendek.
Reformasi birokrasi memang dijalankan: ada tes terbuka untuk jabatan pimpinan tinggi, ada upaya standardisasi kinerja aparatur sipil negara. Namun realitas di lapangan sering berbeda. Proses seleksi bisa diintervensi, penilaian kinerja tak konsisten, dan sistem promosi kerap kembali pada siapa dekat dengan siapa. Patronase beradaptasi, menyelinap ke celah-celah institusi.
Pelajaran dari Timur
Dari Singapura kita belajar bahwa meritokrasi membutuhkan institusi yang kuat dan investasi besar pada pendidikan. Meritokrasi tidak akan hidup tanpa “bahan baku” berupa talenta berkualitas yang cukup. Dari China, kita belajar bahwa meritokrasi bisa mendorong pertumbuhan, tetapi bila tidak dibarengi pengawasan ketat, ia justru berkelindan dengan praktik patronase, menciptakan pertumbuhan yang timpang dan rentan korupsi.
Indonesia, dengan ukuran negara yang jauh lebih besar dan kompleksitas sosial-politik yang berlapis, tentu tidak bisa sekadar menyalin resep. Kita tidak mungkin meniru kedisiplinan otoritarian Singapura atau kontrol tunggal Partai Komunis di China. Tetapi prinsip dasarnya—menghargai kinerja, membangun sistem promosi yang jelas, dan memberi ruang pada talenta terbaik—tetap bisa menjadi pedoman.
Jalan Reformasi yang Realistis
Pertama, meritokrasi harus dimulai dari rekrutmen terbuka yang transparan. Seleksi jabatan publik perlu diumumkan luas, diawasi panel independen, dan hasilnya bisa ditelusuri.
Kedua, penilaian kinerja berbasis data harus konsisten. Tidak cukup hanya laporan formal, melainkan indikator yang terukur dan audit yang diawasi publik.
Ketiga, insentif struktural harus diperbaiki. Selama gaji pejabat publik jauh dari memadai, peluang patronase akan terus terbuka. Singapura berani menggaji pejabatnya tinggi untuk menutup ruang korupsi. Indonesia mungkin tidak bisa menyalin secara utuh, tapi kenaikan berbasis kinerja layak dipertimbangkan.
Keempat, pembangunan pipeline talenta perlu dipercepat. Bonus demografi bisa menjadi berkah bila lulusan perguruan tinggi, terutama di bidang sains dan teknologi, ditingkatkan secara masif. Tanpa basis ini, meritokrasi hanya akan jadi jargon kosong.
Kelima, jangan abaikan dimensi kemanusiaan. Meritokrasi yang kaku bisa melahirkan elitisasi teknokrat yang jauh dari rakyat. Perlu ada kombinasi antara penilaian berbasis prestasi dengan kebijakan afirmatif untuk kelompok terpinggirkan.
Menjaga Harapan
Meritokrasi bukan mantra yang bisa mengubah keadaan seketika. Ia butuh waktu, keberanian politik, dan konsistensi. Patronase memang sulit dihapus, tetapi bisa dipersempit ruang geraknya melalui aturan main yang transparan dan pengawasan publik yang lebih kuat.
Pilihan akhirnya ada pada kita: apakah rela terus terjebak dalam siklus patronase yang melanggengkan mediokritas, atau berani membangun sistem yang memberi panggung bagi mereka yang terbaik?
Lee Kuan Yew dan Deng Xiaoping sudah membuktikan bahwa meritokrasi, dalam variasinya, mampu mengangkat bangsa. Indonesia pun bisa, asal tidak berhenti pada retorika. Karena di balik setiap jabatan publik, taruhannya bukan hanya kursi kekuasaan, melainkan masa depan negara.