Adakah batas bagi keheningan yang menganga,
Saat ribuan mata kecil menatap langit yang terbakar?
Bukan lagi awan, melainkan asap pahit yang naik,
Dari tempat mereka dulu bermain, kini tinggal debu dan darah.

Mereka adalah bunga-bunga yang dicabut dari akarnya,
Dilempar ke gurun, di mana setiap pasir adalah rindu.
Perut yang kosong, bukan karena tak ada roti,
Melainkan karena tangan-tangan lain memegang takdir mereka.

Dan bom-bom itu, dicium sebelum dilepaskan,
Merobek daging, memecah harapan,
Membuat tubuh-tubuh mungil menjadi puing,
Sebuah tarian kematian di bawah matahari yang acuh.

Dunia menyaksikan, melalui kaca-kaca kecil yang dingin,
Awalnya terkejut, lalu bosan, lalu tak peduli.
Kengerian menjadi tontonan, sebuah sandiwara yang berulang,
Ketika tangan-tangan tersembunyi membiayai kehancuran ini.

Namun di tanah itu, ada gema dari masa lalu,
Jiwa-jiwa yang menolak untuk sirna,
Berpegang pada setiap batu, setiap nama leluhur,
Bertahan, bukan untuk hidup, tapi untuk ada.

Mereka menjadi pertanyaan yang tak terjawab,
Sebuah lubang dalam hati nurani dunia.
Apakah kita telah kehilangan kemampuan untuk merasa?
Atau akankah dari kehancuran ini, bangkit sebuah kebenaran baru,
Yang memaksa kita untuk melihat, dan akhirnya bertindak?

Post a Comment