Mengapa 97% Bisnis Keluarga Gagal Bertahan hingga Generasi Ketiga?
Ada sebuah pepatah lama di kalangan pebisnis keluarga di Asia: generasi pertama membangun, generasi kedua merawat, generasi ketiga merusak. Pepatah yang terdengar sinis itu terus bergema, bukan karena lucu, tapi karena statistik menguatkannya. Di Indonesia, sebagaimana di banyak negara Asia, hampir 97% bisnis keluarga tak berhasil melewati generasi ketiga. Yang bertahan, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Dalam sebuah perbincangan Timothy Ronald dengan Hermanto Tanoko—pengusaha yang merintis grup usaha raksasa dari pabrik cat kecil di Surabaya—ia mengangguk ketika angka itu disodorkan. “Bisnis keluarga itu bukan soal uang, tapi soal karakter dan kesiapan mental. Uang bisa diwariskan, tapi mental tidak,” katanya, sembari tersenyum, seperti seseorang yang sudah melihat banyak contoh nyata dari jarak dekat.
Fenomena kegagalan lintas generasi ini bukan kutukan genetis. Ia adalah pola sosial, budaya, dan psikologis yang nyaris identik di mana-mana. Dan di tangan Hermanto, cerita ini menjelma jadi cermin: apa yang sebenarnya membuat bisnis keluarga tumbang sebelum cucu-cucu memilih logo perusahaan untuk seragam magang mereka?
Kutukan Keberhasilan: Ketika Kemapanan Menggerus Etos Kerja
Generasi pertama biasanya tumbuh dalam kekurangan. Mereka membangun usaha dengan insting bertahan hidup, jam kerja 18 jam sehari, dan keberanian mengambil risiko yang pada masa kini mungkin terlihat irasional. Di sinilah muncul founder’s advantage, istilah dari buku The Founder’s Mentality karya Chris Zook dan James Allen.
Masalahnya, keberhasilan ekonomi sering kali justru menjadi bumerang bagi generasi berikutnya. Anak-anak tidak merasakan “masa lapar” yang menempa orang tua mereka. Semua sudah disiapkan: sekolah terbaik, modal berlimpah, rumah nyaman. Semangat berjuang digantikan rasa aman.
Hermanto mengakui pola serupa. “Banyak anak pengusaha tumbuh dalam suasana serba ada. Mereka tidak pernah melihat bapaknya bangkrut, tidak pernah melihat hutang menumpuk. Padahal pengalaman itulah yang membentuk daya juang,” ujarnya.
Keberhasilan membius. Kemapanan menciptakan jarak psikologis antara pewaris dan kenyataan keras yang membesarkan bisnis tersebut.
Suksesi: Bagian Tersulit dari Bisnis Keluarga
Jika ada satu kata yang paling sering muncul dalam literatur bisnis keluarga, itu adalah suksesi. Dua huruf kecil yang menjadi momok besar. Profesor John Davis dari Harvard—otak di balik teori “Three-Circle Model” bisnis keluarga—menyebut suksesi sebagai “the ultimate test of leadership.”
Hambatannya tidak hanya teknis, tetapi emosional:
- Siapa yang akan memimpin?
- Apakah anak pertama otomatis paling pantas?
- Bagaimana jika ada perbedaan visi?
- Bagaimana membedakan keluarga dan profesional?
Di Asia, persoalan ini semakin rumit karena budaya patriarki, senioritas, dan rasa sungkan. Banyak pemimpin generasi pertama memegang kendali terlalu lama. Ada yang takut melepas. Ada yang merasa anak-anak belum siap. Ada pula yang diam-diam meragukan profesionalisme keluarga sendiri, tetapi tak kuasa mengatakannya.
“Anak itu harus diuji dulu. Bukan dikasih jabatan, tapi dikasih masalah,” kata Hermanto, sambil tertawa kecil. Ia percaya pemimpin tidak dibentuk dari ruang rapat yang nyaman, tetapi dari medan tempur operasional: gudang, lini produksi, komplain pelanggan, tekanan cash flow.
Masalah Dimulai Saat Keluarga Diikutkan ke Dalam Bisnis, Bukan ke Dalam Sistem
Banyak bisnis keluarga berumur pendek bukan karena kurang modal, tetapi karena kurang struktur. Sejak awal, banyak perusahaan yang berjalan dengan aturan tak tertulis: keputusan ada di tangan ayah, urusan keuangan di tangan ibu, dan seterusnya. Ini berfungsi ketika skala masih kecil.
Tapi saat bisnis tumbuh, “aturan keluarga” tidak cukup. Ia memicu konflik:
- Anak A merasa lebih berhak daripada anak B.
- Menantu ingin peran lebih besar.
- Keputusan bisnis dibumbui perasaan.
- Profesional sulit berkembang karena keluarga memonopoli posisi strategis.
Perusahaan-perusahaan yang berhasil melewati generasi ketiga selalu memiliki pola yang sama: struktur formal, dewan keluarga, kode etik, pemisahan kepemilikan dan manajemen, serta mekanisme penyelesaian konflik keluarga.
Sementara yang gagal biasanya menolak formalitas. Mereka tetap mengelola perusahaan besar dengan budaya warung sembako.
Gen Ketiga dan Godaan Konsumerisme
Jika generasi pertama bekerja untuk bertahan hidup, dan generasi kedua berjuang untuk mempertahankan stabilitas, maka generasi ketiga tiba-tiba dihadapkan pada dunia baru: kekayaan sebagai gaya hidup.
Tekanan media sosial, budaya “rich kid”, dan kemudahan konsumsi menciptakan generasi pewaris yang cepat menikmati hasil tetapi lambat memahami proses. Banyak perusahaan keluarga yang runtuh bukan karena strategi bisnis buruk, tetapi karena generasi ketiga lebih sibuk pamer mobil daripada membaca laporan arus kas.
Ini bukan semata-mata salah mereka. Ini adalah hasil dari pola pengasuhan yang diciptakan oleh rasa bersalah generasi sebelumnya: trauma kemiskinan membuat mereka terlalu protektif terhadap anak-anaknya. Akhirnya, kemampuan anak berkurang, sementara ekspektasi keluarga meningkat.
Apa yang Dibutuhkan untuk Bertahan?
Meski angka keberhasilannya kecil, bukan berarti mustahil. Dari berbagai penelitian dan pengalaman para konglomerat dunia, pola-pola berikut adalah syarat minimal untuk bertahan hingga generasi ketiga:
- Pemimpin generasi pertama harus berani melepas kendali secara bertahap.
- Suksesi harus disiapkan sejak dini, bukan menunggu sakit atau pensiun.
- Anak-anak wajib “turun gunung” dan ditempa di lapangan.
- Keluarga harus tunduk pada struktur perusahaan, bukan sebaliknya.
- Profesional diberi ruang untuk memimpin bila keluarga tidak kompeten.
- Budaya perusahaan harus lebih kuat daripada ego keluarga.
Hermanto merangkum semuanya dengan sederhana:
“Yang membuat bisnis keluarga bertahan bukan harta, tapi nilai. Nilai itu
harus diwariskan, bukan hanya modalnya.”
Akhirnya, Yang Bertahan adalah yang Mau Belajar
Pada akhirnya, keberhasilan lintas generasi bukan soal darah. Ia adalah soal disiplin, kerendahan hati, dan kesiapan menghadapi dunia yang berubah lebih cepat dari ego manusia. Banyak bisnis keluarga runtuh bukan karena pengelolaan yang buruk, tetapi karena penundaan: menunda suksesi, menunda merapikan struktur, menunda bicara jujur dalam keluarga.
Bisnis keluarga yang bertahan bukan yang paling kaya, tetapi yang paling dewasa.
Dan seperti kata Hermanto, sambil menatap jauh seolah
melihat masa depan yang penuh tantangan:
“Tujuan kita bukan sekadar membuat usaha besar. Tujuan kita membuat usaha
yang tahan lama.”