Demografi Indonesia, Bahan Bakar Ekspansi Tancorp di Bisnis Konsumer
Ketika banyak perusahaan di Asia masih bergulat dengan perlambatan ekonomi global, Hermanto Tanoko justru melihat sesuatu yang berbeda. Bukan pada angka neraca perdagangan atau indeks manufaktur, melainkan pada wajah-wajah muda di mall, pasar, gang sempit, hingga kampus-kampus di kota lapis dua. “Indonesia itu negeri dengan energi yang belum dipakai,” ujarnya dalam sebuah siniar dengan Timothy Ronald. Ungkapan itu terdengar sederhana, tetapi di baliknya tersimpan logika bisnis yang membawa Tancorp menjadi salah satu kelompok usaha paling agresif di sektor konsumer.
Indonesia sedang mengalami apa yang para ekonom sebut “demographic momentum”—populasi yang terus bertambah, dengan usia produktif yang masih mendominasi. Dari sudut pandang korporasi, ini berarti satu hal: pasar terbesar di Asia Tenggara sedang berada dalam fase emas.
Fenomena Bonus Demografi yang Tak Lagi Sekadar Statistik
Laporan United Nations Population Fund menyebut Indonesia berada di tengah bonus demografi 2020–2035, masa ketika proporsi penduduk produktif jauh lebih tinggi daripada kelompok non-produktif. Istilahnya, fase seperti ini adalah “competitive window”: periode singkat ketika daya beli, produktivitas, dan aspirasi masyarakat naik bersamaan.
Buku The Next 4 Billion dari IFC dan World Resources Institute memperkuat hal ini: kelas menengah di negara berkembang menggeser pusat gravitasi konsumsi global. Indonesia adalah salah satu episentrumnya.
Hermanto memahami fakta itu lebih cepat daripada banyak pesaingnya. Baginya, demografi bukan sekadar tabel sensus. “Kalau pasar membesar, kebutuhan ikut membesar. Tugas kita adalah menyiapkan produk sebelum gelombang itu datang,” katanya.
Itulah sebabnya Tancorp, yang awalnya identik dengan bisnis bahan bangunan, bertransformasi menggarap sektor-sektor yang menyentuh kebutuhan harian: air minum dalam kemasan, kosmetik, makanan-minuman, produk kesehatan, kemasan, hingga gaya hidup. Langkah ini bukan diversifikasi, melainkan membaca perubahan perilaku generasi berikutnya.
Generasi Z: Konsumen Baru yang Mengubah Aturan Perang
Tidak ada kelompok yang lebih menentukan arah ekspansi Tancorp selain Generasi Z, kelompok yang kini jumlahnya mencapai lebih dari 74 juta jiwa di Indonesia. Dalam studi McKinsey, Gen Z adalah “the first true generation of prosumers”—bukan sekadar pengguna, tetapi pembentuk tren.
Di banyak kota, dari Surabaya hingga Makassar, Tancorp mengamati pola konsumen yang bergeser:
- Mereka mencari produk dengan kualitas konsisten, bukan sekadar murah.
- Mereka mengutamakan kemasan, estetika, dan pengalaman personal.
- Mereka menghargai kecepatan dan kenyamanan.
- Mereka responsif terhadap narasi otentik, bukan iklan berlebihan.
Hermanto pernah berkata, “Anak muda itu bisa mencium ketidaksungguhan. Kalau produknya tidak ‘niat’, mereka pindah ke merek lain dalam hitungan detik.”
Itu alasan mengapa banyak produk konsumer Tancorp lahir dengan riset intensif, packaging premium, dan standar kualitas yang dibangun seperti perusahaan global—meski dipasarkan untuk segmen menengah.
Skala Populasi Menjadi Keunggulan Strategis
Dalam teori strategi The Art of Scaling (Reeves & Whitaker, BCG), perusahaan yang ingin tumbuh eksponensial membutuhkan tiga bahan bakar utama:
- Pasar yang besar,
- Model bisnis yang bisa distandarisasi,
- Efisiensi distribusi.
Demografi Indonesia memenuhi ketiganya.
Dengan 280 juta penduduk dan jutaan pelanggan baru yang naik kelas setiap tahun, Indonesia menawarkan pasar yang jarang dimiliki negara lain. Tancorp memanfaatkan ini dengan membangun rantai suplai yang terhubung: dari pabrik bahan baku, manufaktur, kemasan, hingga distribusi.
Ini bukan sekadar integrasi vertikal; ini adalah strategi untuk memenangkan economies of density—konsep yang dijelaskan dalam buku The Future is Asian karya Parag Khanna: keuntungan besar yang muncul dari konsentrasi populasi dalam satu wilayah.
Semakin padat penduduk, semakin efisien biaya distribusi, semakin cepat perputaran produk konsumer.
Tancorp membaca peta itu dengan jeli:
- Minuman untuk pasar massal yang tumbuh setiap musim kemarau.
- Kosmetik & skincare yang lahir dari meningkatnya literasi kecantikan Gen Z.
- Kemasan karena ekonomi digital membuat kebutuhan logistik meroket.
- F&B dan hospitality karena lifestyle menjadi mata uang sosial.
Demografi bukan sekadar peluang; ia menjadi fondasi model bisnis.
Kota Lapis Dua: Arena Baru Pertumbuhan Konsumer
Cerita besar jarang muncul dari metropolis. Ia tumbuh
diam-diam dari tempat yang tak banyak dilihat.
Dan itulah yang terjadi di kota lapis dua Indonesia.
Surabaya, Malang, Manado, Pekanbaru, Samarinda, Kupang—kota-kota ini bukan lagi bayangan Jakarta. Mereka adalah pasar konsumer yang sedang meledak. Urbanisasi menciptakan permintaan terhadap segala sesuatu: air minum higienis, kosmetik, makanan cepat saji, pusat kebugaran, hotel budget, hingga coffee shop.
Laporan Bain & Co. menyebut pertumbuhan konsumsi tercepat di Asia kini justru terjadi di kota tier-2. Hermanto tampaknya memahami hal ini lebih cepat dari para analis. Ia berulang kali menyebut bahwa pasar terbesar Indonesia ada di luar Jakarta, dan ekspansi Tancorp pun mengalir mengikuti peta densitas penduduk, bukan peta prestise.
Produktivitas Manusia sebagai Mesin Pertumbuhan
Dalam banyak kesempatan, Hermanto selalu kembali pada satu premis: sumber daya manusia adalah mesin pertumbuhan yang sebenarnya. “Kalau manusianya mau naik kelas, perusahaannya ikut naik kelas,” katanya.
Pendekatan ini selaras dengan teori dalam buku Good to Great karya Jim Collins: perusahaan besar tidak lahir dari strategi sempurna, melainkan dari tim yang obsesif pada eksekusi.
Demografi yang besar berarti dua hal sekaligus:
- Pasar konsumen yang luas,
- Ketersediaan talenta muda yang melimpah.
Tancorp memadukan keduanya: menjadikan talenta muda bukan hanya target pasar, tapi juga motor inovasi. Banyak unit usaha konsumer Tancorp dipimpin manajer berusia 30–40 tahun—sesuatu yang jarang terlihat di perusahaan keluarga Asia.
Hasilnya adalah organisasi yang terasa lincah, modern, tetapi tetap menjaga nilai tradisional: kecekatan, kerja keras, dan orientasi jangka panjang.
Demografi Sebagai Strategi, Bukan Kebetulan
Di atas kertas, ekspansi Tancorp bisa terlihat seperti diversifikasi bisnis. Tapi itu adalah demography-led strategy: keputusan strategis yang sepenuhnya berpijak pada struktur penduduk.
- Populasi besar menciptakan volume.
- Kelas menengah menciptakan margin.
- Generasi muda menciptakan inovasi.
Di persimpangan ketiganya, bisnis konsumer adalah sektor yang paling logis, paling resilien, dan paling cepat berkembang.
Hermanto memahaminya dengan cara yang sangat intuitif: “Negara ini akan memasuki masa produktif panjang. Selama orang masih makan, minum, mandi, berhias, dan ingin hidup lebih baik, industri konsumer tidak akan mati.”
Itu bukan optimisme kosong. Itu adalah rumus demografi yang diterjemahkan menjadi strategi korporasi.
Akhirnya, Indonesia Adalah Pasar Impian yang Sedang Menjadi Nyata
Di era ketika banyak perusahaan global memilih menunggu dan melihat, Tancorp memilih mempercepat langkah. Dan alasan utamanya bukan teknologi, bukan modal, bukan tren musiman—tetapi demografi Indonesia itu sendiri.
Waktu tidak pernah menunggu. Generasi muda terus tumbuh.
Kelas menengah terus membesar. Aspirasi terus naik.
Dalam siklus ekonomi apa pun, kebutuhan konsumer tetap menjadi denyut utama.
Ekspansi Tancorp bukan hanya strategi bisnis, tetapi percakapan panjang antara perusahaan dan bangsanya: dialog antara aspirasi 280 juta jiwa yang ingin hidup lebih baik, dan perusahaan yang mencoba memenuhi kebutuhan itu.
Pada akhirnya, bahan bakar terbesar pertumbuhan bukanlah pabrik atau teknologi, melainkan manusia Indonesia itu sendiri.
