Indonesia mencatatkan ‘prestasi’ baru: angka kemiskinan nasional turun menjadi 8,57% per September 2024, setara dengan 24 juta jiwa. Di atas kertas, pencapaian ini patut diapresiasi. Namun, di balik kemegahan statistik itu, terselip pertanyaan mendasar: benarkah hidup rakyat kita kini lebih sejahtera, ataukah angka itu sekadar ilusi kebijakan yang menenangkan hati para pengambil keputusan?
Bank Dunia menyodorkan angka yang sangat berbeda, lebih dari 60% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan global. Bukan hanya angka ini jauh lebih tinggi, ia juga membawa konsekuensi serius. Bukan saja karena selisihnya yang mencolok, tetapi karena masing-masing angka itu menyimpan logika dan ideologi yang berbeda.
BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar dan menetapkan garis kemiskinan sebesar Rp595.242 per kapita per bulan. Itu setara sekitar Rp20.000 per hari. Sementara Bank Dunia memakai pendekatan global berdasarkan paritas daya beli, di mana batas kemiskinan untuk negara menengah atas seperti Indonesia adalah US$6,85 PPP per hari—lebih dari empat kali lipat standar nasional.
Perbedaan metodologi ini bukan sekadar perbedaan teknis, melainkan perbedaan cara pandang terhadap kemiskinan itu sendiri. Apakah kemiskinan hanya soal bisa makan sehari tiga kali, ataukah juga menyangkut akses terhadap layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, air bersih, dan partisipasi sosial? Apakah kemiskinan bisa diringkus dalam angka konsumsi, ataukah ia lebih kompleks, melibatkan dimensi martabat dan peluang hidup yang layak?
Ekonom Morten Jerven dalam bukunya Poor Numbers (2013) mengingatkan bahwa data statistik bukanlah cermin netral dari realitas. Ia adalah hasil dari kapasitas kelembagaan, keputusan politik, dan keterbatasan metodologis. Dalam banyak kasus, angka justru menyederhanakan kompleksitas sosial. Ketika statistik menyatakan bahwa hanya 8 % warga miskin, maka yang tampak adalah keberhasilan. Tapi yang tak terlihat adalah jutaan keluarga yang hidup di pinggir jurang: cukup untuk tak disebut miskin, tapi terlalu rapuh untuk merasa aman.
Di banyak desa di Indonesia timur, misalnya, anak-anak masih harus berjalan puluhan kilometer menuju sekolah. Di pinggiran kota besar, para pekerja informal menggantungkan hidup dari penghasilan harian yang tak menentu. Mereka tidak tercatat sebagai miskin, tetapi hidup mereka jauh dari sejahtera. Mereka berada di wilayah abu-abu—terlalu ‘baik’ untuk masuk data kemiskinan, tapi terlalu lemah untuk bertahan dalam guncangan ekonomi.
Ketika kebijakan dirancang berdasarkan angka yang meremehkan realitas, maka bantuan sosial pun dibuat terlalu sempit, terlalu hemat, terlalu jauh dari kebutuhan nyata masyarakat. Program seperti PKH, BLT, atau makan gratis di sekolah memang membantu, tapi mereka tak akan efektif jika targetnya hanya berdasarkan data yang menyusutkan skala masalah.
Ironinya, kemiskinan justru harus dibuktikan dengan dokumen. Untuk mendapat bantuan, warga miskin harus membuktikan bahwa mereka cukup menderita. Dalam praktiknya, tak sedikit kisah warga yang seharusnya layak menerima bantuan justru tersingkir dari daftar penerima manfaat karena alasan administratif—atau lebih buruk lagi, karena permainan kuasa di tingkat lokal.
Di sejumlah daerah, ditemukan kasus di mana oknum aparat RT atau RW sengaja mencoret nama warga miskin dan menggantinya dengan kerabat atau keluarganya sendiri demi mengakses bantuan pemerintah. Inilah wajah administratif dari sebuah sistem yang lebih percaya pada form dan angka daripada cerita dan kenyataan hidup. Ketika data diperlakukan sebagai tiket, bukan cermin, maka derita yang tak terdokumentasi pun seolah tak pernah ada.
Kita butuh reformasi dalam cara mengukur dan memaknai kemiskinan. Bukan dengan menambah angka, tetapi dengan memperluas empati dan wawasan kita. Indonesia perlu mulai mengadopsi pendekatan multidimensional, seperti yang dikembangkan UNDP, agar kemiskinan tidak hanya dilihat dari sisi pendapatan, tapi juga dari akses, kesempatan, dan kualitas hidup.
Statistik seharusnya membebaskan, bukan mengekang. Ia seharusnya membuka mata, bukan menutupinya dengan optimisme palsu. Dalam negara sebesar Indonesia, data harus menjadi alat kejujuran, bukan alat pembenaran. Kita perlu jujur bahwa angka kemiskinan bisa saja menurun, tetapi jurang ketimpangan tetap menganga lebar. Kita perlu jujur bahwa penurunan persentase bukan berarti penurunan penderitaan.
Di hadapan realitas ini, kita tak lagi cukup bertanya ‘berapa persen rakyat miskin,’ tetapi harus mulai bertanya ‘siapa yang kita hitung, dan siapa yang kita lupakan?’ Sebab, yang paling menyakitkan dalam kemiskinan bukan hanya kelangkaan materi, tapi ketidakterlihatan. Ketika derita tak diakui, dan tak dianggap layak untuk ditolong, maka di situlah kemiskinan menemukan bentuknya yang paling sunyi.
Posting Komentar