Di satu sisi, kita ingin anak-anak tumbuh cerdas, mandiri, dan penuh empati. Di sisi lain, kita juga yang menempatkan gawai di tangan mereka sejak bisa duduk tenang. Tak mau ribet, cukup buka YouTube, pilih video warna-warni, dan diamlah si kecil. Damai untuk orang tua, bencana jangka panjang untuk anak.
Inilah era dopamin instan—masa ketika kebahagiaan tidak perlu usaha panjang. Cukup satu klik, satu scroll, satu suara kartun yang menjerit riang. Tanpa disadari, anak-anak kita sedang dibesarkan dalam dunia yang menuntut kesenangan cepat, tanpa ruang untuk bosan, tanpa jeda untuk berpikir.
Menurut data dari National Center for Missing and Exploited Children, Indonesia mencatat 5,5 juta laporan konten eksploitasi seksual anak dalam empat tahun terakhir. Sementara itu, 80.000 anak di bawah usia 10 tahun sudah terpapar judi daring. Angka ini bukan sekadar statistik. Ini adalah tamparan bahwa ruang digital tak lagi aman untuk yang paling rentan.
Lebih ironis lagi, 48% anak-anak Indonesia mengaku pernah mengalami perundungan online. Mereka tidak tahu bagaimana cara menanggapi karena belum selesai membentuk identitas, tapi sudah diminta bersaing dalam arena validasi publik. Siapa yang paling lucu, siapa yang paling pintar, siapa yang paling viral—padahal mereka bahkan belum paham arti privasi.
Dan di tengah kekacauan itu, siapa yang jadi pembimbing utama? Gawai.
Kita, orang tua, guru, dan orang dewasa pada umumnya, kadang terlalu percaya bahwa anak-anak akan belajar sendiri. Kita pikir, asal diberi akses teknologi, semua akan beres. Padahal tanpa bimbingan, teknologi bukan jembatan, tapi jurang.
Psikolog Ikhsan Bella Persada menjelaskan, ketika anak terlalu banyak terpapar media sosial, mereka mulai membentuk konsep diri berdasarkan standar yang mereka lihat di dunia maya. Jika tidak sesuai, timbullah rasa cemas, tidak percaya diri, bahkan keinginan untuk menarik diri dari lingkungan. Ini bukan sekadar "anaknya jadi pendiam"—ini gejala awal dari masalah kesehatan mental yang serius.
Tapi, kita tetap saja berpikir: “Ah, semua anak sekarang memang begitu.”
Masalahnya bukan pada teknologinya. Masalahnya adalah kita terlalu malas untuk hadir secara penuh. Lebih mudah menyuruh anak diam dengan video daripada mengajaknya berdialog. Lebih simpel memberi HP daripada menemani kebosanan mereka.
Kita lupa bahwa bosan adalah bagian penting dari tumbuh. Bosan melatih kreativitas. Bosan mendorong eksplorasi. Tapi di era dopamin instan, rasa bosan dianggap gagal. Anak yang bosan dianggap kurang stimulasi, padahal yang ia butuhkan adalah keheningan, bukan distraksi.
Pemerintah mencoba memperbaiki lewat PP Tunas, regulasi tentang perlindungan anak di ruang digital. Platform digital diwajibkan menyaring konten berbahaya, memverifikasi usia, dan menyediakan mekanisme pelaporan. Tapi sehebat apa pun regulasi, ia akan kalah oleh algoritma yang tahu bahwa emosi marah, takut, atau tertawa lebih menguntungkan secara klik.
Dan algoritma tahu: anak-anak adalah target yang mudah ditebak dan sulit dilindungi jika orang tuanya tak paham cara kerja dunia digital.
Apa yang bisa kita lakukan? Tidak perlu langsung mencabut internet atau memusnahkan gawai. Yang dibutuhkan adalah kehadiran—yang pelan tapi konsisten. Duduk bersama saat mereka online. Tanyakan apa yang mereka tonton. Bantu mereka mengenali emosi mereka setelah scrolling TikTok atau main game online. Jangan remehkan perasaan mereka hanya karena menurut kita itu “sepele”.
Batasi waktu layar bukan dengan ancaman, tapi dengan alasan yang masuk akal. Bukan “Jangan main HP terus!”, tapi “Aku ingin kamu punya waktu istirahat, biar otakmu nggak capek.”
Dan yang paling penting: beri contoh. Tidak bisa menyuruh anak berhenti main HP kalau kita sendiri tak bisa melepaskannya selama makan malam. Anak-anak tak meniru apa yang kita katakan. Mereka meniru apa yang kita lakukan.
Mendidik anak di era dopamin instan adalah pekerjaan melelahkan, tapi juga pekerjaan paling mulia. Kita tidak sedang melawan teknologi, kita sedang berusaha menyelamatkan masa depan agar tidak tumbuh dalam kecanduan yang dibungkus hiburan.
Kita sedang mendampingi anak-anak agar tahu: kesenangan instan bukanlah kebahagiaan sejati. Dan hidup yang berarti, justru sering datang dari proses yang lambat, sunyi, dan penuh tantangan.
Karena kalau kita gagal hadir hari ini, esok mereka akan belajar sendiri dari layar. Dan layar tidak pernah mencintai balik.
Posting Komentar