Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di industri televisi selama dua tahun terakhir bukan sekadar dampak dari efisiensi atau restrukturisasi internal, tetapi menandai krisis yang lebih dalam: kegagalan model bisnis lama dalam menjawab tantangan era digital.
Pada Mei 2024, Kompas TV melepas lebih dari 100 karyawan dalam satu kali gelombang PHK, menyusul penutupan beberapa program berita reguler dan pengalihan fokus ke konten lokal dan distribusi digital.
Tak lama sebelumnya, Viva Group (ANTV dan tvOne) dikabarkan mengalami cash flow shock lebih dari Rp350 miliar, yang mendorong dua gelombang PHK dan penundaan pembayaran vendor. Kabar serupa terdengar dari stasiun televisi lokal dan bahkan beberapa BUMD penyiaran daerah yang kesulitan mempertahankan operasional akibat turunnya belanja iklan nasional.
Ironisnya, PHK ini terjadi di saat bersamaan dengan lonjakan belanja iklan di platform digital. Menurut Dentsu, sekitar 80% pengeluaran iklan nasional diprediksi mengalir ke kanal digital pada 2025. Artinya, televisi tidak hanya kehilangan penonton muda yang bermigrasi ke YouTube dan TikTok, tetapi juga kehilangan sumber pendapatan utama: iklan.
Industri televisi di Indonesia memang sedang berada di persimpangan sejarah. Di satu sisi, beberapa grup besar tetap kokoh berdiri, bahkan semakin ekspansif berkat strategi digital dan diversifikasi bisnis.
Namun di sisi lain, tidak sedikit stasiun televisi yang kini berada di ujung tanduk. Mereka terancam tenggelam dalam derasnya arus disrupsi digital, perubahan pola konsumsi, serta migrasi anggaran iklan ke ranah online.
Grup Tangguh vs Zona Rawan
Struktur industri TV Indonesia saat ini bisa dibagi menjadi dua kubu besar. Di barisan tangguh, berdiri MNC Group (RCTI, MNCTV, GTV), SCM/Emtek (SCTV, Indosiar), dan Trans Media (Trans TV, Trans 7). Sementara di zona rawan, tergolong Viva Group (ANTV, tvOne), Kompas TV, dan sejumlah TV lokal serta TV publik seperti TVRI.
Grup tangguh tidak hanya bergantung pada iklan spot prime-time—yang meskipun masih mendominasi (sekitar 65% porsi pendapatan)—tetapi juga sudah membangun fondasi bisnis digital yang serius. Misalnya, MNC mengembangkan Vision+, meluncurkan FAST (Free Ad-Supported Streaming TV) channel untuk pemirsa Smart-TV, serta mengoptimalkan distribusi konten di TikTok dan YouTube.
SCM/Emtek melalui platform Vidio justru memimpin di ranah OTT nasional. Dengan model SVOD dan AVOD, Vidio berhasil menjadi penyiar eksklusif Liga 1, AFF, dan sejumlah ajang olahraga populer lainnya. Mereka bahkan menggandeng Telkomsel dan IndiHome untuk bundling paket langganan. Sementara Trans Media menyinergikan aset media dengan jaringan ritel Transmart dan unit travel untuk menciptakan ekosistem yang saling mendorong.
Sebaliknya, stasiun TV di zona rawan masih terjebak dalam model bisnis lama: program infotainment murah, program titipan politik, dan kolaborasi digital yang minim. Viva Group hingga kini belum memiliki OTT mapan, sementara Kompas TV mencoba bertahan lewat strategi hyperlocal news dan skema donasi komunitas. Namun strategi ini belum mampu menutup beban operasional yang terus meningkat.
Realitas Finansial dan Tekanan Operasional
Kontras ini tercermin jelas dalam data keuangan terbaru:
- MNCN mencatat pendapatan semester I 2024 sebesar Rp4,35 triliun dengan margin EBITDA tinggi di 43%.
- SCM/Emtek melaporkan bahwa segmen media menyumbang 71% dari total pendapatan grup, dengan pertumbuhan tipis namun stabil.
- Sebaliknya, internal memo Viva mencatat cash-flow shock lebih dari Rp350 miliar dan dua gelombang PHK.
- Kompas TV pada Mei 2024 juga melepas lebih dari 100 staf untuk efisiensi.
Kondisi ini menciptakan dualisme struktural dalam industri televisi: sebagian bersiap menuju fase platformisasi penuh, sementara sisanya menuju "sunset slot".
Sunset Industry atau Replatforming?
Pertanyaan utama yang kini mencuat adalah: apakah televisi konvensional akan punah, ataukah akan berevolusi menjadi platform hibrida?
Riset Dentsu memperkirakan bahwa 80% belanja iklan nasional pada 2025 akan beralih ke digital. Namun di sisi lain, Connected TV (CTV) dan FAST channel diproyeksikan tumbuh 25% YoY, memberi peluang baru bagi pemain yang mampu mengintegrasikan TV dan internet secara strategis.
Di sinilah letak pertarungan masa depan televisi. Platformisasi bukan sekadar soal OTT, melainkan kemampuan mengelola data pengguna, personalisasi konten, dan menciptakan alur monetisasi multi-kanal. Televisi yang hanya mengandalkan "massa mengambang" tidak akan mampu bersaing dengan TikTok atau YouTube yang memiliki sistem targeting berbasis algoritma dan perilaku.
Vision+, Vidio, dan potensi kolaborasi dengan operator seluler seperti yang dilakukan Emtek, adalah contoh dari replatforming. Mereka bergerak dari penyiaran satu arah menuju model langganan, transaksional, dan berbasis interaksi.
Sementara pemain di zona rawan yang gagal bertransformasi berisiko menjadi korban konsolidasi, merger, atau bahkan penutupan. Tanpa OTT, tanpa data, dan tanpa diferensiasi konten, mereka hanya memiliki sedikit alasan untuk tetap mendapat alokasi iklan dari brand besar yang kini lebih memilih mikro-influencer atau platform digital.
Implikasi Strategis: Apa yang Harus Dilakukan?
- Transformasi dari broadcast ke narrowcast: Menyesuaikan konten dengan audiens yang lebih spesifik dan berbasis data.
- Diversifikasi monetisasi: Tidak hanya mengandalkan spot iklan, tetapi juga langganan, kerja sama e-commerce, konten berbayar, dan bundling layanan.
- Sinergi ekosistem: Mengintegrasikan media dengan vertikal bisnis lain seperti ritel, event, atau digital banking.
- Investasi dalam infrastruktur OTT: Tanpa OTT, TV hanya akan menjadi layar nostalgia.
- Redefinisi KPI media: Dari rating dan share menjadi watch time, retention, dan lifetime value pengguna.
Industri televisi Indonesia tidak sedang mati—ia sedang bertransformasi. Namun, seperti dalam setiap revolusi teknologi, tidak semua yang hidup hari ini akan bertahan esok. Yang mampu membaca arah angin dan menavigasi perubahan, akan tetap relevan. Sisanya, akan tinggal nama dalam catatan sejarah media kita.
Posting Komentar