Saya masih ingat satu malam di sebuah kantor media daring di bilangan Palmerah. Jam menunjukkan pukul 11 lewat, tetapi ruang redaksi belum juga lengang. Bukannya mendiskusikan liputan investigasi atau kualitas naskah, para editor justru menatap layar dashboard analytics. Bukan pada halaman berita, melainkan grafik real-time traffic.

"Naik!" seru salah satu dari mereka. Judul yang baru saja mereka edit — tentang selebgram yang diduga selingkuh — berhasil menyalip berita APBN.

Dan ketika saya tanya mengapa mereka memprioritaskan itu, jawabannya sederhana: “Ini yang diklik orang, Pak.”

Inilah era after-click, ketika yang menentukan kelayakan tayang bukan lagi editor, bukan juga kode etik jurnalistik, melainkan grafik CTR, bounce rate, dan time-on-site. Klik telah menjadi raja. Berita tidak lagi sekadar soal kebenaran, tapi juga performa.

 

Dari Redaktur ke Algoritma

Dahulu, redaktur adalah gerbang utama informasi. Mereka menentukan mana yang layak masuk halaman depan, mana yang tidak. Mereka membaca dengan teliti, menyunting dengan hati-hati.

Tapi kini, gerbang itu diambil alih oleh algoritma.

Lihat saja bagaimana berita kita muncul di timeline. Itu bukan hasil keputusan redaktur, melainkan rumus matematika yang disusun untuk satu tujuan: memaksimalkan atensi pengguna. Algoritma TikTok, YouTube, Google News — semuanya bekerja siang malam mengutamakan apa yang bikin orang berhenti scroll dan menonton lebih lama.

Sialnya, yang paling sering bikin orang berhenti justru bukan informasi bermutu. Tapi konten yang memancing emosi — marah, takut, cemas, atau tertawa sinis.

 

Dari Oplah ke Pageviews

Mari kita lihat data.
Tahun 2010, ukuran keberhasilan media masih diukur lewat tiras dan oplah. Sebuah koran dengan 100.000 eksemplar per hari sudah dianggap raksasa.

Namun, pada 2024, hal itu dianggap kuno. Hari ini, trafik menjadi mata uang. Semua bergerak dengan satu angka sakral: pageviews. Bahkan lebih dari itu: click-through-rate (CTR), dwell-time, scroll depth, dan bounce rate.

Media-media besar kini punya traffic desk, yaitu tim yang khusus memantau dan mengoptimalkan performa berita. Tak sedikit redaksi yang menghapus divisi liputan mendalam demi menggandakan tim SEO dan social media.

Kita seperti menukar kompas etika dengan spidometer klik. Semakin cepat lajunya, semakin dipuja, tak peduli apakah arahnya menuju jurang atau tidak.

 

Model Bisnis yang Mengubah Segalanya

Apakah media salah? Tidak sepenuhnya.

Mereka beroperasi dalam ekosistem ekonomi digital yang kejam.
Model bisnis berbasis iklan digital menuntut mereka menjual impresi — bukan wawasan.

Bayangkan ini:
Google dan Meta menguasai lebih dari 70% belanja iklan digital di Indonesia. Sisanya diperebutkan ratusan media lokal dan nasional. Untuk bisa bersaing, mereka harus menarik klik sebanyak mungkin — bahkan jika itu berarti mengorbankan akurasi, kedalaman, bahkan empati.

Kita bisa menyebut ini sebagai era kapitalisme atensi, di mana perhatian manusia menjadi ladang komoditas. Dan seperti semua bentuk komodifikasi, nilainya ditentukan oleh pasar — bukan oleh moral.

 

Yang Terlupakan: Trust Publik

Tapi seperti semua sistem yang tak seimbang, konsekuensi selalu datang.
Trust publik terhadap media turun. Dalam survei Edelman Trust Barometer, kepercayaan publik Indonesia terhadap media turun dari 43% menjadi 36% dalam tiga tahun terakhir. Bukan karena jurnalis makin buruk, tapi karena berita makin sulit dipercaya.

Yang dijual bukan lagi informasi, melainkan sensasi. Yang diberi panggung bukan lagi ahli, melainkan viralitas.

 

Dari Klik ke Kredibilitas

Saya percaya, media bisa berubah. Tapi untuk itu, kita harus menyadari arah yang sedang kita tuju. Kita perlu menyadari bahwa yang viral belum tentu benar, dan yang benar belum tentu viral.

Sudah saatnya kita membangun ulang sistem metrik.
Bukannya meninggalkan angka, tapi menyempurnakannya. Menggeser dari sekadar klik ke metrik yang lebih sehat: dwell time, engagement berkualitas, dan jumlah pembaca yang kembali.

Saya membayangkan di masa depan, media akan punya indeks etika sendiri. Seperti halnya label gizi pada makanan. Setiap berita akan menunjukkan apakah ia diverifikasi, apakah ia bersumber jelas, dan apakah ia bebas konflik kepentingan.

Bukan hanya soal pageview, tapi juga trustview.

Pertanyaan pentingnya:
Siapa yang sebenarnya kita layani? Apakah pengiklan? Apakah algoritma? Ataukah publik yang butuh kebenaran?

Era after-click telah memberi kita kecepatan, tapi kehilangan arah. Jika kita terus mengejar klik tanpa arah, maka kita hanya akan berputar dalam sirkus tanpa substansi.

Namun jika kita berani melambat sejenak, bertanya, dan memikirkan kembali nilai-nilai dasar jurnalistik, maka mungkin — ya, mungkin — kebenaran bisa kembali jadi raja.

Dan klik, kembali menjadi pelayan.

Post a Comment