Ketika Amerika “Mengundang” Investor, Tapi Menangkap Pekerjanya


Bayangkan Anda sebagai perusahaan multinasional dari Korea Selatan, berniat membuka pabrik besar di Amerika Serikat—investasi ratusan triliun, janji menyerap ribuan tenaga kerja lokal. Semua berjalan mulus… hingga tiba-tiba ratusan pekerjamu ditangkap dan diperlakukan seperti kriminal.

Itulah kejadian nyata yang terjadi di pabrik Hyundai-LG di Georgia, AS, pada awal September 2025. Operasi penangkapan ini menjadi sorotan dunia karena konflik antara janji menarik investasi asing dan tindakan keras terhadap tenaga kerja asing.

 Pada 4 September 2025, otoritas imigrasi Amerika Serikat melakukan penggerebekan besar-besaran di kawasan pabrik baterai listrik Hyundai–LG yang sedang dalam tahap konstruksi di Ellabell, Georgia. Sekitar 475 orang ditangkap, sebagian besar warga Korea Selatan, atas tuduhan bekerja secara ilegal atau menggunakan visa yang tidak sesuai jenis pekerjaan.

ICC (ICE / Homeland Security) menyebut operasi itu sebagai rahas terbesar dalam satu lokasi tunggal sepanjang sejarah Departemen Keamanan Dalam Negeri AS. Dilansir dari The Washington Post, Hyundai menyatakan bahwa mereka bukan majikan langsung dari orang-orang yang ditangkap; sebagian merupakan pekerja dari kontraktor pemasok.

Operasi ini bukan tanpa konsekuensi. Pembangunan pabrik pun mengalami penundaan minimal 2–3 bulan menurut Hyundai CEO José Muñoz karena gangguan tenaga kerja dan ketidakpastian operasional.

 

Apa yang Membuat Kasus Ini Begitu Sensitif

1. Perbedaan Antara Visa & Pekerjaan

Beberapa pekerja ditangkap meski memiliki visa bisnis (B-1) atau visa yang memungkinkan kunjungan sementara. Diwartakan The Guardian, internal dokumen ICE menunjukkan bahwa setidaknya satu pekerja yang ditangkap memiliki visa sah dan tidak melanggar aturan visa.

Pengacara Charles Kuck menyatakan bahwa banyak dari pekerja Korea Selatan yang ditangkap adalah teknisi atau pemasang peralatan — pekerjaan teknis penting yang biasanya tidak dipermudah oleh izin kerja standar.

Kasus ini menyoroti ambiguitas antara izin tinggal, visa kerja, dan apa yang disebut “melakukan pekerjaan ilegal” menurut interpretasi pemerintah AS.

2. Perlakuan terhadap Pekerja

Seperti ditulis sejumlah media, beberapa pekerja menyebut bahwa mereka diborgol dan diikat sebelum dibawa ke pusat penahanan, serta ditempatkan dalam kondisi buruk (ruangan penuh sesak, sanitasi minim, udara dingin).

Mereka juga mengeluhkan bahwa hak-hak mereka tidak dijelaskan dengan jelas, dan tidak bisa menghubungi keluarga atau pengacara pada awal penangkapan.

3. Reaksi Diplomatik & Ekonomi

Pemerintah Korea Selatan mengutuk tindakan itu. Presiden Lee Jae Myung memerintahkan seluruh upaya agar korban dipulangkan dan meminta klarifikasi dari AS, termasuk membentuk tim khusus diplomatik.

Sisi ekonomi juga terguncang. Pabrik yang direncanakan sebagai investasi besar senilai puluhan miliar dolar kini menghadapi penundaan. Reputasi AS sebagai tempat ramah investasi ikut terguncang—apakah perusahaan asing akan ragu untuk menanam modal setelah ini?

 

Tinjauan dari Perspektif Bisnis & Kebijakan

Kasus ini mengandung pelajaran penting, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia:

  • Janji investasi asing harus dibarengi regulasi yang konsisten
    Negara penerima harus menetapkan hukum yang jelas terkait izin kerja, aturan tenaga kerja asing, dan perlindungan hak tenaga kerja.
  • Perlakuan manusiawi penting untuk reputasi global
    Jika pekerja asing diperlakukan tidak manusiawi, ini bisa memicu boikot, sanksi diplomatik, atau penarikan modal.
  • Pembangunan infrastruktur teknologi tinggi memerlukan tenaga spesialis asing
    Pabrik baterai EV tidak bisa dibuat secara instan hanya dengan tenaga lokal tanpa keahlian teknis khusus.
    Dalam kasus Hyundai-LG, banyak pekerja asing yang ditangkap adalah teknisi yang dibawa untuk instalasi awal.
  • Keseimbangan antara keamanan nasional & iklim investasi
    Setiap negara tentu punya hak menegakkan hukum imigrasi. Namun penggerebekan massal di tengah proyek investasi besar dapat menciptakan ketidakpastian bagi investor asing.

 

Melihat kasus ini, kita bisa merenungkan: bagaimana Indonesia menyikapi investor asing (terutama di sektor manufaktur)? Beberapa poin:

  • Apakah izin kerja, visa, dan regulasi tenaga kerja asing di Indonesia sudah sejelas negara yang ingin menarik investor?
  • Apakah perlakuan terhadap pekerja asing — dan lokal — bersih dari praktik intimidasi, pemerasan, dan pelanggaran hak asasi?
  • Apakah kebijakan negara cukup menjaga keamanan dan kenyamanan bagi investor, sekaligus melindungi tenaga kerja lokal?

Jika kita gagal menjaga keseimbangan ini, maka potensi investasi besar pun dapat musnah dalam sekejap jika terjadi insiden yang mencoreng citra. Indonesia tidak ingin menjadi “negara yang menakuti investor” seperti dikritik dalam narasi video tersebut.

 

Kasus Hyundai-LG di Georgia menyatukan dua realitas pahit: di satu sisi, AS ingin “mengundang” investasi; di sisi lain, mereka “memukul balik” pekerja asing terkait isu legalitas.

Di dunia nyata, bisnis bukan hitungan surga dan neraca saja — ia juga tentang manusia, hukum, dan citra. Investor bisa memilih negara lain jika mereka merasa tidak aman. Dan bagi negara, keberhasilan menarik investor terbesar pun bisa hancur oleh satu operasi penangkapan yang buruk.

Semoga peristiwa ini membuka mata kita bahwa membangun ekosistem investasi tidak bisa hanya dengan janji dan insentif fiskal. Hukum, etika, dan perlakuan manusiawi harus berjalan seiring.