Gen Z dan Minat Beli Rumah: Ketika Kepemilikan Tertunda, Sewa Jadi Ekosistem
Generasi Z Indonesia sedang merundingkan ulang makna “mapan”. Jika pada generasi orang tua rumah adalah tonggak pertama kemapanan, bagi Gen Z hari ini—terutama yang hidup di kota besar—kepemilikan rumah kian terasa seperti target yang ditunda.
Survei Jakpat pada 2025 mengindikasikan sebagian responden Gen Z memilih tidak membeli rumah untuk saat ini, menegaskan jarak antara daya beli dan harga hunian yang terus merangkak.
Pemberitaan sepanjang 2024–2025 juga menunjukkan pola serupa: lebih banyak anak muda memilih menyewa daripada membeli, terutama di kota pusat kerja dan destinasi WFA (work from anywhere) seperti Bali.
Nada dasar fenomena ini bukan apatisme, melainkan frustrasi rasional. CEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda menegaskan, “Kalau ditanya mau beli rumah? Tentu jawabannya mau. Tapi dengan daya beli saat ini, banyak yang tidak sanggup dengan harga hari ini.”
Pernyataan itu mengemuka di rangkaian Golden Property Awards (GPA) 2025 di Jakarta, yang juga menyoroti kian normalnya pilihan menyewa di kalangan muda akibat keterjangkauan yang menurun. Liputan detikProperti dari konferensi pers GPA 2025 bahkan merangkum gejala “zilenial”—irisan milenial–Gen Z—yang akhirnya memilih ngontrak.
Mengapa “Beli Nanti, Sewa Dulu” Menjadi Rasional
1) Daya beli vs. harga rumah.
Data Bank Indonesia menunjukkan kenaikan Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) relatif terbatas (±1–1,4% yoy sepanjang 2024–Q1 2025). Namun, kenaikan harga yang “landai” tetap berarti jika digabung beban DP, cicilan, dan biaya transaksi lain—sementara pertumbuhan upah dan ongkos hidup di perkotaan membuat ruang fiskal rumah tangga muda sempit. Ringkasan pasar Global Property Guide atas survei BI pada Q1 2025 mencatat IHPR tumbuh 1,07% yoy; meski kecil, efek majemuknya tetap menggerus keterjangkauan ketika dikombinasikan inflasi, transportasi, dan biaya hidup urban. Data seri FRED juga menegaskan tren indeks harga residensial yang masih naik hingga Q2 2025.
2) Sisi kredit: suku bunga & struktur cicilan.
Suku bunga KPR komersial 2025 bervariasi lintas bank dan produk (tetap/float, tenor, promo). Pemerintah memperlebar akses likuiditas ke sektor properti—Bank Indonesia menurunkan giro wajib minimum untuk mendorong kredit perumahan—agar target besar penyediaan rumah tercapai. Di sisi lain, meski ada KPR bersubsidi (FLPP) dengan suku bunga ~5% hingga 20 tahun, program ini terutama menyasar MBR (masyarakat berpenghasilan rendah). Kelas menengah–produktif (segmen utama Gen Z urban) kerap “nanggung”: terlalu tinggi untuk MBR, terlalu ketat untuk KPR komersial nyaman.
3) Kebijakan: insentif ada, namun belum menyentuh semua.
Pemerintah memberi insentif—pembebasan BPHTB untuk rumah bersubsidi, subsidi biaya administrasi, dan skema FLPP—namun menurut banyak pelaku industri, kelas menengah produktif belum memperoleh dukungan setara. Dalam beberapa bulan terakhir juga muncul paket dorongan baru: pemerintah menempatkan dana besar di bank Himbara untuk kredit bersubsidi dan bahkan menalangi sebagian bunga pinjaman pengembang kecil dan renovasi rumah; langkah-langkah ini diharap memperbanyak pasokan dan memperbaiki kualitas hunian. Tapi transmisi ke keterjangkauan Gen Z urban belum langsung terasa.
4) Geografi & pola kerja baru.
Banyak rumah yang “terjangkau” berlokasi jauh dari pusat pekerjaan. Dengan ongkos mobilitas dan waktu tempuh yang tinggi, value menyusut. Di saat bersamaan, normalisasi WFA dan gaya hidup fleksibel membuat sewa terasa lebih logis: pindah lebih dekat ke peluang kerja/komunitas atau mencoba kota baru tanpa terikat hipotek. Di Bali, misalnya, permintaan sewa jangka menengah–pendek terdongkrak komunitas pekerja jarak jauh, meskipun pasar juga bergerak dinamis—sebagian pelaku menilai ada risiko oversupply di segmen tertentu.
Di Panggung Industri: Developer Ikut Mengalah ke Tren
Dikutip dari asiapropertyawards.com, Ketua B-Universe sekaligus tokoh properti senior Enggartiasto Lukita mengingatkan: tren generasional tidak bisa dilawan; industri perlu mengikuti. Itulah sebabnya sebagian pengembang mulai merancang klaster yang memang ditujukan untuk pasar sewa—alih-alih memaksa skema jual putus—terutama di destinasi yang ramai pekerja jarak jauh seperti Bali. Narasi ini sejalan dengan temuan berbagai laporan pasar yang menunjukkan menguatnya peran rental market dalam menopang siklus properti ketika kepemilikan melambat.
Apa Kata Data & Laporan Kebijakan?
- Backlog & agenda nasional. Pemerintah menargetkan jutaan rumah baru per tahun di era Presiden Prabowo—termasuk dorongan hunian vertikal terjangkau—serta mengalirkan likuiditas perbankan untuk sektor properti. Laporan Bank Indonesia (Februari 2025) menegaskan kebijakan pelonggaran likuiditas untuk mendukung program tersebut. World Bank (Juni 2025) memetakan kontribusi program pemerintah terhadap solusi perumahan 2015–2024 (±36% dari total solusi hunian), tapi menekankan perlunya reform kelembagaan dan desain pembiayaan agar skala & ketepatan sasaran meningkat.
- Kota & tata kelola destinasi. Bali menerapkan moratorium pembangunan hotel/akomodasi baru di area tertentu (sejak 2024) karena kekhawatiran overtourism—kebijakan yang bisa memengaruhi elastisitas pasokan sewa setempat ke depan. Ini relevan bagi Gen Z perantau/WFA yang mengandalkan sewa sebagai opsi tinggal.
- Preferensi generasi. Liputan The Jakarta Post (Des 2024) dan Vietnam News merangkum berbagai laporan bahwa Gen Z Indonesia cenderung menyewa dulu—ekonomi, lokasi, dan fleksibilitas sebagai alasan utama. IDN Research Institute (2025) juga menyinggung peran dukungan keluarga/warisan dalam kepemilikan hunian anak muda—indikasi bahwa mobilitas sosial-keuangan kini sangat menentukan akses rumah.
Implikasi: Dari “Dream Home” ke “Right Now Home”
Fenomena “tunda beli, sewa dulu” muncul dari kombinasi harga–upah–pembiayaan–geografi–gaya hidup. Ini bukan sekadar malas menabung atau “kebanyakan kopi”; ini kalkulus biaya-keuntungan yang masuk akal di kepala Gen Z urban:
- Fleksibilitas bernilai tinggi—karier, jejaring, bahkan kesehatan mental.
- Biaya transport & waktu sering menghapus keuntungan membeli murah di pinggiran.
- Instrumen kebijakan masih berpusat pada MBR; lapisan middle–productive (banyak Gen Z perkotaan) butuh jembatan baru.
Jalan Tengah Kebijakan & Bisnis
- Dorongan “middle segment”: skema bunga rendah bertahap untuk pembeli rumah pertama non-MBR, pembebasan/discount BPHTB untuk kisaran harga starter home perkotaan, dan jaminan KPR parsial untuk pekerja dengan profil pendapatan fleksibel (gig/creator/remote).
- Produk “sewa-berujung-milik” (rent-to-own) yang serius, bukan gimmick pemasaran; transparansi harga, tenor, dan opsi buyout. (Isu ini mulai dibahas media sepanjang 2025.)
- Kota berorientasi transit (TOD): mendorong suplai hunian terjangkau di koridor MRT/LRT/BRT agar biaya hidup total (housing + transport) turun secara nyata, bukan hanya harga unit.
- Data & literasi: publikasi rutin IHPR per submarket, rata-rata KPR efektif untuk pembeli pertama, serta kalkulator biaya total kepemilikan yang memasukkan pajak, biaya balik nama, asuransi, dan commuting—agar keputusan Gen Z berbasis data, bukan mitos.
Pada dasarnya Gen Z Indonesia bukan “anti-rumah”; mereka anti keputusan buruk. Selama ketimpangan keterjangkauan belum dijembatani, sewa adalah pilihan rasional—sebuah ekosistem yang justru menjaga roda sektor properti tetap berputar. Ketika kebijakan mulai menyasar kelas menengah produktif, pengembang meramu produk yang sesuai pola kerja–mobilitas anyar, dan kota menyediakan hunian terjangkau yang dekat transit, barulah narasi “tunda beli” berpotensi berubah menjadi “beli yang tepat”.