Di linimasa X, potongan video pendek berseliweran: seorang pemuda dipiting oleh lelaki berjaket hitam tanpa tanda pengenal, lalu dihajar bersama-sama. Warganet sigap memberi label: “polisi tak berseragam.” Tak jarang, mereka terlihat lebih agresif ketimbang demonstran yang hanya membawa poster dan suara serak. Ironisnya, ketika kericuhan pecah, aparat inilah yang kerap tampil bak penonton yang tiba-tiba memantik korek.
Di era kamera ponsel dan siaran langsung, semua trik lama itu kehilangan kamuflase. Kalau dulu kekerasan bisa diselubungi laporan resmi, kini setiap tendangan, pukulan, hingga provokasi terekam rapi, diulang-ulang, dan dikomentari jutaan kali. Media sosial menjadi ruang pengadilan rakyat, tempat polisi bukan lagi “pengayom,” melainkan “provokator berseragam.”
😡😡😡 pic.twitter.com/EiU0XlP6Rb
— Ricky Kardjono 🇮🇩 (@RickyKardjono) August 29, 2025
Mengapa publik Indonesia begitu cepat curiga? Jawabannya sederhana: pengalaman kolektif. Survei demi survei menegaskan kepolisian sebagai salah satu institusi paling tidak dipercaya. Sejarah panjang penyalahgunaan kewenangan—dari pungli jalanan, rekayasa kasus, kriminalisasi aktivis, hingga kasus besar semacam Sambo-gate—telah membentuk citra institusi ini sebagai sarang paradoks. Polisi menjadi pelindung hukum sekaligus pelanggar hukum yang paling lihai.
Tak heran jika di ruang publik, setiap kekerasan yang dipicu aparat dianggap wajar: begitulah polisi, refleksnya bukan merangkul tapi memukul. Dalam bahasa teori sosiologi politik, institusi ini telah lama bertransformasi dari “penjaga ketertiban” menjadi “tangan panjang kekuasaan.” Michel Foucault mengingatkan, kekuasaan sering hadir bukan melalui pidato besar atau pasal undang-undang, melainkan lewat tubuh-tubuh berseragam yang mengatur, mengintimidasi, dan—jika perlu—menghantam.
Polisi selalu punya riwayat sebagai alat represi. Di masa Orde Baru, fungsi kepolisian menempel pada ABRI: bukan sekadar aparat hukum, tapi garda depan kontrol sosial. Reformasi 1998 memisahkan polisi dari militer, tapi mentalitas represif tidak ikut tercerabut.
Pelajaran serupa bisa dilihat di banyak negara. Di Amerika Latin, kepolisian sering menjadi instrumen junta untuk menundukkan protes rakyat. Di Rusia modern, polisi antihuru-hara menjadi wajah keras negara terhadap oposisi. Dalam semua kasus itu, fungsi aparat bukan menjaga publik dari kekacauan, melainkan menjaga kekuasaan dari rakyatnya sendiri.
Di Indonesia, paradoks ini kian kentara: demokrasi prosedural tetap berjalan, tapi di jalanan demokrasi justru sering dilumpuhkan oleh tangan aparat. Demonstrasi mahasiswa yang seharusnya jadi kanal aspirasi politik kerap berakhir dengan gas air mata. Rakyat kecil yang menuntut keadilan agraria malah dipukuli di sawah sendiri.
Di media sosial, semua itu terkumpul jadi mosaik kemarahan: mengapa kita harus membiarkan institusi yang seharusnya menjaga keamanan justru menjadi sumber ketakutan? Kalau demokrasi adalah panggung, polisi kini tampil bukan sebagai penjaga lampu, melainkan sebagai pemain yang ikut melempar kursi ke arah penonton.
Pada akhirnya, persoalannya bukan sekadar soal segelintir polisi yang brutal. Masalahnya struktural: institusi kepolisian di Indonesia telah lama nyaman menjadi protektor kekuasaan dan pelindung kejahatan. Itulah sebabnya, setiap rekaman di X hanya mempertebal apa yang sudah jadi keyakinan rakyat: di republik ini, polisi bukan bagian dari solusi, melainkan bagian paling rapi dari masalah.
Posting Komentar