Dalam kurun enam tahun terakhir, industri media jurnalistik Indonesia mengalami transformasi yang mendalam dan mendasar.

Dari era kejayaan media cetak hingga kejatuhan televisi sebagai raja informasi, lanskap ini kini diguncang oleh arus besar digitalisasi, dominasi algoritma, dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.

Di tengah revolusi ini, muncul pertanyaan krusial: masihkah media mampu bertahan sebagai pilar demokrasi, atau justru tergerus jadi sekadar kanal konten di bawah kendali segelintir pemain besar?

Lompatan teknologi telah mengubah cara masyarakat Indonesia mengonsumsi berita. Menurut Nielsen, audiens media konvensional—baik cetak maupun televisi—turun lebih dari 50% sejak 2019. Sebaliknya, akses informasi melalui internet, media sosial, platform streaming, hingga aplikasi pesan instan meningkat tajam.

Media kini tidak lagi sekadar “menyiarkan”, tetapi harus “menyebar”—ke berbagai kanal digital secara simultan. Model "digital-first" dan "multiplatform" menjadi norma baru. 

Redaksi bukan hanya membuat artikel, tapi juga video YouTube, reels Instagram, podcast Spotify, hingga live TikTok. Ini menandai era konvergensi media: jurnalis harus serba bisa, platform makin mendikte konten, dan kecepatan jadi nilai utama.

Namun, perubahan ini bukannya tanpa risiko. Dalam kejar tayang dan tren viral, kedalaman berita sering dikorbankan, dan konten jurnalistik mulai kabur batasnya dengan infotainment atau sekadar clickbait.

 

Konsentrasi Kepemilikan

Meski jumlah media daring terus bertambah—lebih dari 1.000 situs terdata oleh Dewan Pers—realitasnya, sekitar 12 kelompok konglomerat media mengendalikan mayoritas kanal utama. 

Nama-nama seperti MNC Group, Emtek, Kompas Gramedia, Jawa Pos, hingga Media Group menguasai televisi nasional, media online, radio, dan bahkan rumah produksi konten digital.

Kondisi ini memunculkan ekosistem oligopolistik, yang tidak hanya mengancam keragaman sudut pandang, tetapi juga menggeser fungsi media: dari ruang publik yang mengedukasi warga, menjadi saluran ekonomi yang memperlakukan audiens semata sebagai konsumen.

Konvergensi ini memperkuat kontrol editorial dan distribusi dalam satu tangan, membuat isu independensi media, keberagaman narasi, dan etika jurnalistik makin rentan dikompromikan oleh kepentingan bisnis atau politik pemilik modal.

 

Penurunan Media Konvensional

Dari sisi jumlah, industri media konvensional menyusut drastis. Pada 2018, ada lebih dari 560 media cetak aktif di Indonesia; kini jumlahnya kurang dari 200. Banyak koran daerah tutup, redaksi dimerger, dan media beralih ke versi digital.

Industri televisi pun tidak kebal. Penurunan penonton dan pendapatan iklan mendorong stasiun TV—bahkan yang besar—untuk mem-PHK karyawan dan bergeser ke layanan on-demand serta platform OTT. Radio menghadapi nasib serupa, tertinggal oleh Spotify, YouTube Music, dan podcast.

 

PHK Massal di Industri Media 

Di balik layar transformasi digital ini, ada gelombang PHK massal yang menandai krisis struktural industri media. Sejak pandemi COVID-19 hingga tahun 2025, ribuan jurnalis dan pekerja media kehilangan pekerjaan akibat turunnya pendapatan, efisiensi operasional, dan otomatisasi kerja berbasis AI.

Menurut catatan Dewan Pers, seperti dikutip dari Tirto, sepanjang 2023–2024, setidaknya 1.200 pekerja media, termasuk jurnalis, kehilangan pekerjaan mereka. Namun angka ini kemungkinan merupakan estimasi konservatif karena tidak semua media melaporkan PHK secara terbuka. Pada awal 2025, gelombang PHK terus berlanjut, dengan total lebih dari 3.500 karyawan media terkena dampak hingga Mei 2025. 

Data PHK Terbaru (2023–2025):

  • Total pekerja terdampak: >1.200 orang (perkiraan konservatif)
  • Dewan Pers (2023): 800 jurnalis di-PHK dalam satu tahun
  • Dominasi PHK di TV & media digital besar:

Media/TV Nasional

Jumlah PHK (Estimasi)

Kompas TV

150 orang

iNews (MNC Group)

400 orang

CNN Indonesia

200 orang

TV One

75 orang

GTV

30% dari total pegawai

Republika (daring)

60 orang

ANTV, Net TV, TVRI, Viva

Tidak disebut, signifikan

Sumber: Echannel.co.id, Dewan Pers

 

Penyebab Utama PHK:

  • Disrupsi AI dan otomatisasi yang mengurangi kebutuhan tenaga kerja
  • Peralihan pasar iklan ke platform digital global (Google, Meta, TikTok), yang kini menyerap hingga 75% belanja iklan nasional
  • Model bisnis lama yang gagal beradaptasi dengan ekosistem digital
  • Krisis keuangan struktural di perusahaan media, ditambah inflasi dan biaya produksi yang tinggi

 

Ancaman Nyata terhadap Jurnalisme Profesional

Krisis PHK massal di industri media tidak hanya soal hilangnya pekerjaan—ini adalah krisis sistemik yang mengancam jantung jurnalisme itu sendiri. Dampaknya terasa hingga ke ruang publik: kualitas informasi menurun, jurnalisme independen melemah, dan demokrasi kehilangan salah satu penjaga utamanya. 

Di tengah tekanan bisnis dan teknologi, banyak redaksi tak lagi mampu mendanai liputan investigatif yang butuh waktu, sumber daya, dan keberanian. Model bisnis berbasis trafik dan kecepatan akhirnya mendorong konten-konten dangkal, viral, dan serba instan. Berita kini diproduksi demi klik, bukan demi pemahaman.

Sementara itu, algoritma media sosial makin menentukan apa yang dilihat publik. Konten yang menghibur, memancing emosi, atau kontroversial cenderung lebih tersebar luas dibandingkan laporan mendalam yang mengedukasi. Di sinilah jurnalisme profesional makin sulit bersaing dengan influencer dan content creator yang tidak terikat pada prinsip verifikasi, keberimbangan, atau kode etik jurnalistik.

Masalah kian kompleks ketika dikaitkan dengan rendahnya literasi media di masyarakat. Berdasarkan sejumlah survei nasional, hanya sekitar sepertiga orang dewasa Indonesia yang pernah mendapatkan pelatihan literasi digital atau media. Dalam kondisi ini, publik mudah terjebak hoaks, misinformasi, atau bias politik yang sengaja didesain untuk menggiring opini.

Hasilnya adalah paradoks zaman digital: informasi berlimpah, tetapi kebenaran makin sulit ditemukan. Kredibilitas media menurun, kepercayaan publik goyah, dan ruang publik makin rawan diretas oleh kepentingan—baik komersial maupun politis.

Jika tren ini dibiarkan, kita tidak hanya menghadapi krisis media, tapi juga krisis demokrasi. Sebab tanpa jurnalisme yang bebas, independen, dan bertanggung jawab, suara publik berisiko dibungkam oleh kebisingan algoritma dan propaganda tak bertuan.

 

Adaptasi, Regulasi, dan Model Bisnis Baru

Di tengah gempuran digitalisasi, disrupsi AI, dan pergeseran pola konsumsi informasi, bertahan bukan lagi soal bertahan hidup semata, tapi soal beradaptasi secara strategis dan berani berevolusi. Untuk itu, industri media di Indonesia perlu melakukan transformasi struktural—bukan hanya dari sisi teknologi, tetapi juga pada model bisnis, regulasi, dan nilai jurnalisme itu sendiri.

 

Model Pendapatan Baru: Tidak Lagi Bergantung pada Iklan

Ketergantungan pada iklan—terutama dari brand besar—telah menjadi titik lemah media selama ini. Kini, dengan sebagian besar belanja iklan nasional berpindah ke platform digital global, media lokal perlu membangun ekosistem pendanaan alternatif yang berkelanjutan.

Beberapa strategi yang mulai diterapkan media progresif di dunia, dan kini mulai menjangkau Indonesia, antara lain:

  • Membership dan komunitas pembaca berbayar, bukan sekadar langganan, tapi kolaborasi antara media dan audiens.
  • Donasi dan patronase publik, terutama untuk mendanai liputan mendalam atau investigatif.
  • Langganan digital berjenjang, dengan konten premium, bebas iklan, atau fitur eksklusif.
  • Produk kreatif turunan dari jurnalisme: podcast, buku, merchandise, hingga forum diskusi online.

Model-model ini menekankan bahwa jurnalisme bermutu adalah nilai yang layak dibayar, bukan sekadar layanan gratis di internet.

 

Regulasi Publisher Right: Melindungi Konten Lokal dari Eksploitasi Platform Global

Salah satu agenda strategis yang krusial adalah implementasi Publisher Right—sebuah regulasi yang mendorong platform digital global seperti Google dan Meta untuk membayar media lokal atas distribusi dan monetisasi konten jurnalistik.

Beberapa negara seperti Australia, Kanada, dan Prancis telah mengadopsi kebijakan ini. Indonesia sedang menjajaki langkah serupa melalui Kominfo, Dewan Pers, dan asosiasi media.

Publisher Right bukan hanya soal kompensasi finansial. Ini adalah upaya melindungi keberlanjutan media nasional, sekaligus membangun ekosistem digital yang lebih adil bagi pelaku lokal.

 

Kualitas Jurnalisme sebagai Diferensiasi Utama

Dalam lautan konten digital, kualitas jurnalistik adalah satu-satunya pembeda sejati. Ketika influencer dan algoritma mendominasi narasi publik, media profesional harus kembali menegaskan perannya sebagai penyaring informasi, penjaga akurasi, dan pengawal demokrasi.

Jurnalisme yang tajam, independen, dan manusiawi adalah bentuk konten yang tidak bisa digantikan oleh mesin maupun viralitas semata. Inilah aset utama yang harus dijaga, dirawat, dan dikembangkan—bukan dipangkas.

 

Literasi Media Publik: Membangun Audiens yang Kritis dan Berdaya

Media juga perlu menanam investasi jangka panjang di luar redaksi: mengedukasi publik. Rendahnya literasi media di Indonesia menjadi celah besar bagi penyebaran hoaks, bias politik, dan manipulasi informasi.

Melalui program pelatihan, kolaborasi dengan sekolah, kanal edukatif di platform digital, hingga kerja sama dengan komunitas, media dapat:

  • Meningkatkan kemampuan publik memilah informasi kredibel
  • Menumbuhkan kesadaran akan nilai jurnalisme
  • Membangun loyalitas audiens terhadap media yang etis dan bertanggung jawab

Dalam konteks ini, literasi media bukan sekadar tanggung jawab negara, tapi juga misi strategis media itu sendiri.

 

Referensi:  

  1. https://jarfulluk.com/mengubah-lanskap-media-teknologi-baru-dalam-industri-tradisional/
  2. https://nasional.kontan.co.id/news/lanskap-media-2025-media-konvensional-terus-bergerak-ke-ekosistem-multiplatform
  3. https://cipg.or.id/wp-content/uploads/2015/06/MEDIA-2-Industri-Media-2012.pdf
  4. https://www.tempo.co/ekonomi/penjelasan-dosen-ugm-soal-phk-terhadap-jurnalis-dan-industri-media-yang-tertekan-1334470
  5. https://www.kompasiana.com/aidhilpratama7463/6819f7bec925c459a71d2892/phk-massal-dan-disrupsi-ai-di-industri-media
  6. https://radarnganjuk.jawapos.com/berita/2176008416/gelombang-phk-di-industri-media-apakah-profesi-jurnalis-kehilangan-relevansi
  7. https://tirto.id/phk-massal-dan-disrupsi-ai-mengguncang-industri-media-hboo
  8. https://echannel.co.id/daftar-lengkap-phk-massal-di-industri-televisi-indonesia-2024-2025-akibat-disrupsi-teknologi-digital/
  9. https://www.cnbcindonesia.com/tech/20240220183305-37-516131/800-wartawan-kena-phk-di-indonesia-dewan-pers-ungkap-biang-keroknya
  10. https://www.dewanpers.or.id/berita/detail/2554/survei-lanskap-media-pers-indonesia
  11. https://aji.or.id/system/files/2025-04/final-buku-potret-jurnalis-indonesia-2025-logo-ajicompressed.pdf
  12. https://nasional.kompas.com/read/2025/05/05/13311271/phk-di-industri-media-dan-lanskap-media-yang-berubah?page=all
  13. https://media.neliti.com/media/publications/586183-media-komunikasi-dan-jurnalistik-di-era-d53fa65a.pdf
  14. https://cms.amsi.or.id/uploads/dokumen/5/5/55.pdf
  15. https://www.batukarinfo.com/referensi/memetakan-lanskap-industri-media-kontemporer-di-indonesia
  16. https://www.tempo.co/ekonomi/industri-media-dibayangi-phk-komdigi-bicara-transformasi-bisnis-1695605

 

 

 

Post a Comment