Tulisan berikut merupakan hasil menyarikan dari pidato Prof. Mahfud MD di kampus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang ditayangkan di kanal Youtube beliau dengan judul: Oligarki dan Kleptokrasi Berkembang, Melemahkan Negara Hukum.


Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, berbagai dinamika politik dan perubahan sistem telah menjadi bagian yang tak terhindarkan. Sejak merdeka pada tahun 1945, Indonesia terus mengalami perubahan dalam sistem ketatanegaraan. Tercatat setidaknya 11 kali perubahan besar dalam sistem ini, sementara dinamika perubahan lainnya terjadi hampir setiap tahun. Namun, di tengah perubahan yang konstan ini, prinsip negara hukum tetap menjadi pilar utama yang bertahan. Negara hukum menjadi landasan yang kokoh, meskipun sistem dan struktur negara terus berganti.

Negara hukum di Indonesia mengharuskan bahwa semua aspek kehidupan bernegara diatur dan dipimpin oleh hukum. Setiap kebijakan, tindakan, dan keputusan pemerintah harus didasarkan pada prinsip-prinsip hukum. Namun, dalam praktiknya, pelaksanaan negara hukum seringkali dipertanyakan. Diskusi yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap hukum menjadi isu sentral yang terus dibicarakan. Ketika terjadi perselisihan, masyarakat sering mengembalikan persoalan tersebut pada prinsip dasar: "Kita adalah negara hukum." Dengan demikian, prinsip negara hukum menguat seiring berjalannya waktu.

Namun, di balik retorika kuat tentang negara hukum dan demokrasi, muncul berbagai ancaman yang dapat menggoyahkan fondasi negara hukum tersebut. Salah satu ancaman terbesar yang dihadapi Indonesia saat ini adalah berkembangnya oligarki dan kleptokrasi. Oligarki mengacu pada kekuasaan yang terkonsentrasi pada segelintir orang atau kelompok kecil yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang besar. Sementara kleptokrasi adalah pemerintahan yang dijalankan oleh kelompok penguasa yang korup, di mana praktik korupsi merajalela dan kekayaan negara dicuri untuk keuntungan pribadi.

Fenomena oligarki dan kleptokrasi ini telah menimbulkan berbagai masalah dalam pelaksanaan negara hukum dan demokrasi di Indonesia. Salah satu gejala yang terlihat adalah melemahnya institusi hukum yang seharusnya menjadi benteng dalam melawan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Meskipun hukum telah dibuat dan diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, pelaksanaannya seringkali tidak konsisten dan cenderung diabaikan oleh mereka yang berkuasa.

Oligarki dan kleptokrasi tidak hanya merusak tatanan hukum, tetapi juga mengganggu demokrasi. Demokrasi yang idealnya menjamin partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan politik, seringkali diabaikan ketika kekuasaan hanya berputar di antara kelompok elite. Dalam sejarah Indonesia, proses pemilihan umum yang seharusnya menjadi wujud demokrasi sering diwarnai oleh campur tangan oligarki, di mana keputusan penting dipengaruhi oleh mereka yang memiliki modal besar, bukan oleh kepentingan rakyat.

Hal ini mengingatkan kita pada pentingnya menjaga keseimbangan antara negara hukum dan demokrasi. Demokrasi yang tidak diiringi dengan hukum yang kuat berisiko melahirkan kesewenang-wenangan. Sebaliknya, hukum tanpa demokrasi dapat berujung pada otoritarianisme. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih keras untuk memastikan bahwa negara hukum dan demokrasi berjalan seiring.

Indonesia memiliki sejarah panjang dalam memperjuangkan demokrasi, dimulai dari diskusi panjang pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Saat itu, meskipun sebagian anggota BPUPKI lebih mendukung monarki, hasil pemungutan suara (voting) memutuskan bahwa Indonesia harus menjadi republik yang demokratis. Namun, demokrasi yang diperjuangkan ini harus selalu dilegitimasi oleh hukum agar tidak melahirkan kekacauan.

Namun, masalah yang dihadapi saat ini adalah bagaimana negara hukum dan demokrasi bisa bertahan di tengah gempuran oligarki, kleptokrasi, dan kartelisasi. Kenyataan bahwa kekuatan ekonomi dan politik yang besar terkonsentrasi pada segelintir orang mengancam keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Jika negara hanya dikuasai oleh sekelompok kecil elite, maka kesenjangan sosial dan ketidakadilan akan terus meningkat.

Dalam konteks ini, reformasi ketatanegaraan dan penegakan hukum menjadi sangat penting. Sejarah menunjukkan bahwa hukum terus berubah seiring dengan perubahan masyarakat. Seperti yang dikatakan dalam teori hukum, hukum adalah cerminan dari kesepakatan masyarakat pada suatu waktu tertentu. Oleh karena itu, ketika masyarakat berubah, hukum juga harus berubah untuk menyesuaikan dengan kebutuhan zaman.

Namun, perubahan hukum dan sistem ketatanegaraan tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Setiap perubahan harus didasarkan pada prinsip keadilan dan kebenaran. Sayangnya, seringkali perubahan dilakukan bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk melanggengkan kekuasaan kelompok tertentu. Fenomena ini menjadi salah satu tanda bahwa oligarki dan kleptokrasi semakin mengakar dalam sistem pemerintahan Indonesia.

Oleh karena itu, masyarakat harus tetap kritis dan waspada terhadap setiap perubahan yang terjadi. Reformasi hukum harus dilakukan secara konstitusional, tanpa melanggar prinsip-prinsip dasar negara. Dalam sistem demokrasi, rakyat memiliki hak untuk menyampaikan kritik dan memberikan solusi terhadap masalah-masalah yang dihadapi negara. Namun, kritik harus disampaikan dengan cara yang benar, tidak melanggar hukum, dan selalu berlandaskan pada prinsip moral yang kuat.

Pancasila sebagai ideologi negara juga harus dijalankan tidak hanya sebagai dasar hukum, tetapi juga sebagai pedoman hidup bersama. Saat ini, Pancasila seringkali hanya dipahami sebagai dasar negara yang berkaitan dengan hukum, sementara fungsi lain dari Pancasila sebagai pemersatu bangsa dan pedoman hidup bersama sering diabaikan. Padahal, Pancasila juga mengajarkan tentang pentingnya moralitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai penutup, Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar dalam menjaga keutuhan negara hukum dan demokrasi. Oligarki dan kleptokrasi telah menimbulkan kerapuhan dalam sistem hukum, sementara demokrasi seringkali disalahgunakan untuk kepentingan segelintir orang. Reformasi hukum dan ketatanegaraan harus terus dilakukan dengan semangat keadilan dan kesetaraan, serta didasarkan pada prinsip moral yang kuat. Hanya dengan cara inilah Indonesia bisa menjadi negara hukum yang adil dan demokratis, di mana kekuasaan tidak hanya dimiliki oleh elite, tetapi juga oleh seluruh rakyat.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama