Pada 2019, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) membuat prediksi yang berani. Dalam 15 hingga 20 tahun mendatang, mereka memperkirakan bahwa teknologi otomasi baru kemungkinan akan menghilangkan 14% pekerjaan di seluruh dunia dan secara radikal mengubah 32% lainnya.

Prediksi ini menyangkut lebih dari 1 miliar orang di seluruh dunia—dan belum termasuk dampak dari ChatGPT dan gelombang baru AI generatif yang baru-baru ini booming. Teknologi AI generatif telah menambah lapisan kompleksitas baru pada tantangan yang sudah ada, termasuk masalah etika.

Saat ini, kemajuan teknologi mengubah permintaan akan keterampilan dengan sangat cepat. Teknologi baru tidak hanya dapat menangani semakin banyak tugas repetitif dan manual, tetapi juga dapat melakukan pekerjaan berbasis pengetahuan yang semakin canggih—seperti penelitian, pemrograman, dan menulis—yang sebelumnya dianggap aman dari gangguan.

Alhasil, keterampilan yang relevan semakin cepat kehilangan nilainya. Dalam waktu kurang dari 5 tahun, keterampilan yang dulunya esensial bisa jadi usang. Bahkan, dalam beberapa bidang teknologi, siklus hidup keterampilan ini mungkin hanya sekitar dua setengah tahun.

Tidak semua pekerja berbasis pengetahuan akan kehilangan pekerjaan di masa depan. Namun, banyak dari mereka mungkin akan mendapati bahwa AI dan teknologi baru lainnya telah mengubah sifat pekerjaan secara signifikan sehingga seolah-olah mereka bekerja di bidang yang benar-benar baru.

Untuk menghadapi ‘gangguan’ ini, beberapa organisasi sudah berinvestasi besar-besaran dalam peningkatan keterampilan tenaga kerja mereka. Dilansir majalah Harvard Business Review, studi Boston Consulting Group (BCG) baru-baru ini menunjukkan bahwa investasi tersebut mencapai 1,5% dari total anggaran.

Namun ternyata, peningkatan keterampilan saja tidak cukup. Jika estimasi OECD benar, dalam dekade-dekade mendatang jutaan pekerja mungkin perlu dilatih ulang secara menyeluruh. Ini merupakan tantangan sosial yang mendasar dan sangat kompleks yang akan mengharuskan pekerja tidak hanya menguasai keterampilan baru tetapi juga menggunakannya untuk berganti profesi.

Bagi Milenial, Gen Z atau generasi yang lebih muda, alih profesi mungkin bukan persoalan berat karena reskilling bisa dilakukan dengan lebih mudah. Bayangkan untuk generasi X atau yang lebih senior, tentu ini jadi persoalan yang tidak gampang dipecahkan.

Perusahaan juga memiliki peran penting dalam menghadapi tantangan ini. Sayangnya, di antara perusahaan-perusahaan yang telah menerima tantangan pelatihan ulang, hanya sedikit yang melakukannya dengan efektif, dan upaya mereka sering kali masih dalam skala kecil dan berdampak terbatas.

Dalam menghadapi era otomatisasi dan AI yang semakin canggih, fokus kita tidak bisa hanya terbatas pada pelatihan ulang pekerja. Meskipun pelatihan ulang penting, ia hanya merupakan salah satu bagian dari solusi yang lebih besar. Dunia kerja yang cepat berubah membutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif, dan di sinilah konsep pembelajaran sepanjang hayat, atau lifelong learning, menjadi sangat krusial.

Lifelong learning bukan hanya sekadar belajar keterampilan baru ketika ada kebutuhan mendesak, melainkan sebuah perubahan mendasar dalam cara kita memandang pendidikan dan pengembangan diri. Konsep ini menuntut agar setiap individu, tanpa memandang usia atau tahapan karier, terus-menerus mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mereka sepanjang hidup. Ini adalah pendekatan yang proaktif, di mana pembelajaran menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari, bukan sekadar respons terhadap perubahan besar.

Pentingnya lifelong learning semakin terlihat jelas dalam konteks revolusi teknologi saat ini. AI dan otomatisasi tidak hanya menggantikan pekerjaan, tetapi juga menciptakan kebutuhan akan keterampilan yang sama sekali baru—keterampilan yang mungkin belum pernah diajarkan di sekolah atau universitas. Oleh karena itu, pembelajaran berkelanjutan menjadi kunci untuk menjaga relevansi di pasar kerja.

Selain itu, lifelong learning juga memberikan fleksibilitas dan ketahanan bagi individu. Ketika seseorang mengadopsi mentalitas pembelajar sepanjang hayat, mereka lebih siap untuk menghadapi ketidakpastian dan perubahan. Mereka tidak hanya melihat perubahan sebagai ancaman, tetapi juga sebagai peluang untuk berkembang dan berinovasi.

Namun, penerapan lifelong learning di tingkat masyarakat dan organisasi bukanlah hal yang mudah. Ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk perusahaan, pemerintah, dan lembaga pendidikan. Perusahaan, misalnya, harus menciptakan lingkungan kerja yang mendukung pembelajaran berkelanjutan, baik melalui program pelatihan internal, akses ke sumber daya pendidikan, atau kebijakan yang memungkinkan karyawan untuk belajar sambil bekerja.

Pemerintah juga dapat memainkan peran penting dengan memperkenalkan kebijakan yang mendorong pembelajaran seumur hidup, seperti insentif pajak untuk pendidikan berkelanjutan atau program beasiswa untuk orang dewasa yang ingin kembali belajar. Selain itu, lembaga pendidikan harus terus memperbarui kurikulum mereka untuk mencerminkan kebutuhan pasar kerja yang berkembang, serta menawarkan program-program yang fleksibel dan dapat diakses oleh orang-orang dari berbagai latar belakang.

Lebih jauh lagi, lifelong learning juga mencakup pengembangan keterampilan non-teknis yang semakin penting dalam dunia kerja yang dipengaruhi oleh AI dan otomatisasi. Ini termasuk kemampuan berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, dan adaptabilitas—keterampilan yang sulit digantikan oleh mesin.

Secara keseluruhan, pembelajaran sepanjang hayat tidak hanya akan membantu individu tetap relevan di pasar kerja, tetapi juga akan menciptakan masyarakat yang lebih tangguh dan inovatif. Di dunia yang terus berubah, kemampuan untuk belajar, beradaptasi, dan berkembang akan menjadi aset paling berharga. Lifelong learning bukan hanya tentang bertahan hidup di era baru ini, tetapi tentang memanfaatkan peluang yang ditawarkan oleh perubahan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama