Senja di bukit Uluwatu. Bunyi pecah air lautan yang menciumi tubir masih mengendap di telingaku saat tampak di kejauhan perahu berbentuk siluet gelap. “Biasanya jarang perahu lewat,” gumam seseorang yang melihat ke arah yang sama.

Banyak turis, tapi tampaknya hanya kami berdua yang tertarik pada hal yang sama. Seolah, suara orang dan deburan ombak itu sama, sedangkan kami berdiri berdua tiada yang lainnya. Parasnya ayu, rambut lurus melebihi bahu, garis alisnya rapi melengkung dengan ujung lancip—sentuhan perawatan yang tidak bisa dipahami laki-laki, sepertiku.

Hidungnya yang bangir menghidu udara dari laut, seperti anjing liar mengendus bau kerabatnya di kejauhan. Matanya lurus, tapi aku tahu dia menyadari kehadiranku yang memperhatikan hal yang sama, keanehan dari sebuah perahu. Dan, semakin kami memperhatikan, semakin kami sadar bahwa tidak di antara turis-turis yang melihat kehadiran siluet perahu.

Udara malam yang mulai turun dan angin kencang dari lautan tiba-tiba membuatku bergidik. “Kamu lihat perahu itu?” tanyaku memberanikan diri.

Matanya bersitatap dengan mataku, hitam gelap seperti lubang yang menarik sesuatu. Namun lingkaran putih di sekelilingnya membuatku sadar bahwa perempuan itu manusia jua. “Itu Komang, yang hilang beberapa minggu,” ketegasannya membuatku merasa aneh.

Kalau dia tahu orang di perahu, yang jelas tidak terlihat olehku, kenapa seolah ia bersikap biasa saja. Terutama dengan mengatakan dia hilang beberapa minggu. “Maksudmu... dia hilang dan sekarang pulang?”

“Komang tidak akan pulang,” katanya.

Tiba-tiba aku tercekat karena begitu menoleh ke lautan, perahu itu sudah hilang.

“Tidak usah takut, ia hanya hantu yang rindu saat senja berganti di Uluwatu,” matanya kini menatap jauh tanpa tujuan. Ia tidak berfokus pada sesuatu, hanya menghirup, lalu menghembuskan nafas seperti melepas.

“Jadi yang barusan kita lihat hantu, ya... ehm..”

“Orang-orang tidak ada yang percaya. Hanya yang melihat yang bisa mengerti.”

“Nandita.” Tiba-tiba tangannya mengulur, "Japa!" sambutku.

“Japa? Doa?”

“Iya. Kok, tahu artinya?”

“Aku pernah punya teman, namanya juga Japa. Orang Blitar yang tersesat di Sukawati,” ujarnya.

Sulit mengatakan kesan seperti apa perempuan bernama Nandita ini. Kata-katanya jelas tidak pernah ragu, seperti ucapan resi, walaupun umurnya sepertinya tidak lebih dari 30. Aneh, itu saja yang paling mewakili. Atau mungkin asing, atau alien... Oh, tidak, itu berlebihan.

Namun, setidaknya begitulah kami berkenalan senja itu, berlanjut dengan sebuah perbincangan tak panjang sambil minum bir.

Ah, aku tidak pernah minum bir sebenarnya. Mencicipi rasanya sih pernah, tapi benar-benar minum satu dua botol itu sama sekali tidak terpikirkan. Namun, malam itu dia menawariku dan rasanya tidak enak menolak. Apalagi, entah bagaimana aku tertarik dengannya.

Ia bercerita sedikit tentang Komang, pria yang tak pernah memegang kemudi perahu, namun satu hari harus melaut mengikuti pamannya. Pamannya selamat, tanpa perahu, di pantai Banyuwangi. Komang, katanya, entah bagaimana, seperti kesurupan dan menendang sang paman ke laut lalu melarikan perahu ke arah Australia. Tidak ada yang tahu ia mau ke mana atau di mana. Namun, Nandita bilang dengan yakin Komang sudah tidak di dunia ini, setidaknya dunia yang kuhuni.

Banyak pertanyaan yang muncul tapi sebagai kenalan baru aku tak berani banyak bertanya. Pertanyaan terpenting hanyalah nomor telepon dia. Dan, wow, kalian akan sama terkejutnya denganku... ia tidak punya smartphone. “Datang saja ke Jl. By Pass Ngurah Rai No.127. Saya biasa bikin kopi di situ,” ujarnya sebelum seseorang memanggil namanya dan ia pergi begitu saja. Ia meninggalkan rasa penasaran menumpuk, seolah benar-benar mengajakku ke ... mana tadi, oh ya, Jalan By Pass Ngurah Rai.

Hotel tempatku menginap di sekitar Uluwatu. Mungkin satu jam perjalanan ke sana, jika kulihat-lihat di peta.

Tapi aku ke Bali bukan untuk eksplorasi. Aku datang hanya ingin menginap di hotel beberapa hari, menikmati cakrawala dan senja, kembali ke hotel dan menikmati kolam renang sepuasnya. Bali bukan pelampiasan karena Jakarta yang terlalu cerewet. Aku hanya ingin menepi, menikmati sisa cuti tahunan dan menghabiskan sedikit tabungan.

Sebagai jomblo sederhana, aku tidak tahu lagi cara bermewah-mewah dengan harta yang sudah dicapai di dunia. Sombong, ya? Padahal, kalau diingat-ingat, gaji bulanan yang kuterima sebagai manajer tidak bisa dikatakan banyak. Maklum, perusahaan berkembang... Tapi setidaknya aku aku bisa menikmatinya. Kata riset, para milenial sepertiku lebih banyak belanja kesenangan daripada belanja barang. Maka, sebagai bukti atas riset tersebut, sejak 2 tahun lalu aku selalu agendakan keluar kota, biar dianggap liburan oleh teman-teman kantor.

Malu dong dianggap orang yang terlalu rajin bekerja, tidak pernah menikmati hasil keringat. Apalagi, minus pacar, membuatku di posisi yang minim hiburan—jika dilihat dari kacamata mereka. Nyatanya, aku tipe yang bisa menikmati tidak melakukan apa-apa. Tapi, jiwa sosialku masih sering berontak dan ingin dilihat orang. Makanya aku ke Bali untuk melihat turis-turis menikmati pantai. Dan, sampailah seorang perempuan bernama Nandita.

Sesampainya di kamar, malam itu, kucari nama Nandita di Google. Ada nih, nama-nama seperti Nandita Ayu Salsabila, atlet cantik kelahiran 1997. Tapi bukan dia. “Nandita take me out... apa pula ini,” gumamku. Setengah jam ku utak-atik, tidak ketemu juga nama yang fotonya mirip dengan Nandita yang kukenal sore tadi.

Mata agak mengantuk saat tiba-tiba terbersit untuk tidur sambil telanjang. ‘Mungkin enak juga ya, tidur tak pakai baju. Toh ada selimut jika dingin,’ pikirku. Dan begitulah aku terlelap.

Malam itu aku bermimpi, kembali lagi ke dekat tubir di Uluwatu tempatku menatap perahu, senja, dan berkenalan dengan Nandita yang bilang ada Komang di perahu itu. Tapi kali ini aku telanjang, tak mengenakan apapun. Kakiku menjejak dinginnya tanah, rumput, dan kerikil.

“Kenapa kamu tak pakai baju, Jap...” Nandita memandangi tubuhku, namun tidak terasa asing.

Aku tidak sempat menjawab, sebab ia tiba-tiba menarik tanganku dan memeluk erat. Tidak ada turis di situ. Aneh sekali, hanya kami berdua. Padahal, senja masih ada. Dan perahu itu muncul lagi, terombang-ambing ombak. Pelukannya dingin. Membuatku menggigil. Semakin lama semakin dingin, dan saat itulah aku bangun.

Rupanya selimut yang kukenakan sudah jatuh ke bawah ranjang. Pantas pelukan Nandita terasa dingin, pikirku. Kalau tidak, aku tadi pasti sudah mimpi basah. Sambil tersenyum kecil, membayangkan tubuhku berpelukan dengan perempuan yang baru kukenal, aku kembali tidur. Kali ini, tidurku pulas dan seolah tanpa melawati mimpi satu pun.

Pagi-pagi aku mandi. Sudah kuputuskan, setelah sarapan aku akan langsung ke Jl. By Pass Ngurah Rai No. 127. Siapa tahu Nandita mau kuajak kencan. Ya, aku tidak tahu banyak soal perempuan, tapi kalau di Bali mungkin saja semuanya jadi lebih mudah. Apalagi, di Bali aku tetaplah orang asing, yang tidak perlu takut dikenali karena melakukan sesuatu yang dianggap tak normal atau tak wajar.

Sambil menyisir rambut, aku senyum-senyum sendiri.

Perjalanan Uluwatu ke Jl. By Pass Ngurah Rai No. 127 kurang dari satu jam. Mobil yang kusewa untuk mengantar memang tidak ngebut, tapi pagi itu jalanan lancar sekali. Mungkin karena aku membandingkannya dengan Jakarta, ya.

Ternyata sebuah kafe. Jadi benar, Nandita itu seorang barista, seperti tebakanku semalam.

Jam 9.00 lewat, kafenya sudah buka. Tidak tampak Nandita di sana. Hanya dua pria yang tengah sibuk bersih-bersih. Tiga orang tamu duduk terpisah-pisah. Ketiganya juga pria, dua bule. ‘Pagi-pagi sudah di warung kopi, apa sih yang bule cari?’ pikirku. Tapi bukannya ngopi pagi itu memang paling enak, dan biasa dilakukan orang-orang Barat sana.

Nuansa temaram sengaja di-setting di kafe itu. Jadi walaupun di luar matahari bersinar seperti neon besar di atas bumi, tapi di dalam kafe itu terasa seperti remang nan hangat. Lampu-lampu kecil langsung menyorot meja-meja. Jadi sebentar saja di dalam kafe, mata mulai terbiasa. Dan, ya, suasana hangat tiba-tiba merasuk. Seolah-olah kamu sudah pernah ke sini, duduk berlama-lama dan menatap orang lalu-lalang di luar.

Aku memesan kopi gayo yang dibuat dengan V60. Kalau kamu belum tahu apa itu V60, bayangkan kertas dibuat jadi seperti corong, lalu kopi ditaruh, dan kemudian disiram air panas. Tetes-tetes kopi akan turun ke gelas. Ini adalah alat untuk membuat kopi secara manual, selain tubruk atau memakai french press. Ada banyak cara membuat kopi, dan yang jelas dengan V60 kopi yang kuminum tidak sepekat espresso atau kopi tubruk, atau bahkan vietnam drip yang ditambah susu.

Aku tak suka tambahan apapun di kopi. Namun di sisi lain, lambungku tidak terlalu kuat menerima kopi yang kadar kafeinnya tinggi, atau yang kental. Kopi hasil V60 berwarna terang, dengan aroma yang menguar. Rasa pahitnya hanya tertinggal sedikit. Aku hanya penggemar, bukan orang yang benar-benar tahu kopi. Yah, dan kebetulan Nandita kerja di sini. “Apakah dia masuk malam?”

“Hah, siapa, mas?” Tanya barista yang sedang menuang air panas. Katanya, air panas itu bersuhu 90-an derajat celcius, jadi tidak benar-benar air yang mendidih.

“Nandita.”

Prang... dan jatuhlah gooseneck kettle alias ketel bebek angsa dengan leher yang kecil itu. Inilah momen di mana semua orientasiku berbalik 180 derajat. Tiba-tiba, Bali berubah dari tempat wisata menjadi daerah penuh misteri.

Namanya Agus, barista yang terkejut itu, setelah kusebut nama Nandita. Aku pun terkejut, setengah mati. Ya, karena setelah tenang dan bercerita, Agus bilang kalau Nandita ternyata sudah almarhum.

Tetoot!!! Keringat dingin keluar dari dahi dan punggung. Gila ya, kopi belum jadi sudah disuguhi cerita yang membuat bulu kuduk merinding. “Dita kerja di sini cukup lama, ada 3 tahun lebih,” ujarnya.

Tiba-tiba saja suasana temaram di kafe menjadi sesuatu yang menyeramkan. Agus tidak mau bercerita banyak, hanya beberapa hal penting saja, sepertinya dia juga menjaga jarak denganku. Ya, apalagi aku orang yang baru ditemuinya, kan. Dia bilang, sebelum bunuh diri, Dita sering terlihat diam. Beberapa kali dia tak masuk kerja, dan ketika ditemui di rumah kontrakannya, ia hanya termenung.

Kabarnya, beberapa minggu sebelumnya ada seseorang yang mendatanginya. Mereka terlibat cekcok hebat. Dita bahkan sampai melukai pria itu dengan pisau dapur untuk mengusirnya pergi. Tetangga memantu menenangkan Dita dan minta orang itu pergi. Meski begitu, sejak peristiwa itu Dita jadi berubah.

Hingga satu hari, tetangga menemukannya bersimbah darah di ranjang tempat tidurnya. Pembuluh arteri di lengan kirinya putus.

Siang itu sebenarnya aku masih penasaran untuk mencari tahu apa yang terjadi, walaupun rasa ngeri menjalari tubuhku. Rasa takut bertarung dengan rasa penasaran. Bagaimana tidak, kemarin aku menemuinya sedang menatap senja, dan hari ini aku tahu kalau yang bicara denganku itu mungkin saja hantu.

Sebelum kembali ke hotel, aku sempat mencari tahu rumah kontrakan Nandita. Ia tinggal sendiri. Menurut tetangga yang kutemui, Dita bukan orang yang tertutup. Ia bahkan punya teman dekat, orang Bali, namanya Komang. Ya, Komang yang ada di dalam perahu, kukira.

Dan, lebih rumit lagi, tetangga bilang Komang hilang sebulan lalu. Di tengah laut, sama seperti yang di cerita ‘hantu’ Nandita padaku. Tiba-tiba, aku rindu Jakarta yang cerewet.

#The Writers Batch 5

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama