Di tengah gejolak pandemi yang belum juga mereda sepenuhnya, perusahaan-perusahaan besar berjuang keras untuk mengembalikan keadaan menjadi seperti semula, khususnya dalam mengatasi kekurangan tenaga kerja lini depan. 

Ironisnya, seperti dilansir dari majalah HBR, di saat upaya keras tersebut dilakukan, banyak dari mereka yang justru mengabaikan aset paling berharga mereka: pekerja bergaji rendah. 

Fenomena ini bukan hanya merugikan pekerja itu sendiri, tapi juga berimbas negatif pada keberlangsungan bisnis perusahaan.

Salah kaprah dalam pengelolaan pekerja bergaji rendah terlihat dari kegagalan banyak perusahaan dalam menyadari kontribusi vital yang bisa diberikan oleh kelompok ini. 

Berangkat dari realita pahit bahwa 60% dari pekerja bergaji rendah yang dipelajari tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan meski telah bertahun-tahun bekerja, urgensi untuk memperbaiki sistem menjadi semakin nyata.

Penyebab dari kondisi ini beragam, mulai dari stigma negatif yang melekat pada pekerja bergaji rendah hingga praktik manajemen yang kurang memadai dalam mengakui dan mengembangkan potensi mereka. 

Perusahaan-perusahaan cenderung lebih fokus pada pengembangan karier untuk karyawan bergaji tinggi, sementara pekerja bergaji rendah, yang jumlahnya lebih dari 40% dari tenaga kerja di AS, kerap terlupakan. (Ini menggarisbawahi konteks pekerja dalam tulisan ini adalah di AS yang memiliki kultur, aturan, kebiasaan yang berbeda dengan di Indonesia)

Menariknya, ketika diberikan perhatian dan pengelolaan yang tepat, banyak dari pekerja bergaji rendah ini sebenarnya ingin bertahan dan tumbuh bersama perusahaan. 

Data menunjukkan bahwa pengelolaan yang baik terhadap pekerja bergaji rendah tidak hanya meningkatkan produktivitas mereka, tapi juga berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan mereka secara pribadi dan profesional. 

Lebih dari itu, perusahaan pun mendapatkan manfaat dari peningkatan kepuasan pelanggan, retensi pekerja yang lebih baik, hingga peningkatan kemampuan dalam menarik pekerja baru.

Namun, sayangnya, masih banyak kesalahan fundamental yang dilakukan perusahaan dalam mengelola pekerja bergaji rendah, mulai dari gagal mengakui keinginan pekerja untuk bertahan, meremehkan pentingnya lokasi dan stabilitas pekerjaan, hingga kurangnya inisiatif dalam membahas dan merencanakan pengembangan karier pekerja. 

Sebagai contoh, program Disney Aspire yang dicanangkan Disney menjadi bukti nyata bahwa investasi pada pengembangan keterampilan pekerja bergaji rendah dapat berbuah manis, tidak hanya bagi pekerja itu sendiri tapi juga bagi perusahaan.

Di sisi lain, tantangan seperti stigma dan praktik manajemen yang kurang inklusif terhadap pekerja bergaji rendah harus segera diatasi. 

Memperkenalkan mentorship, menyediakan jalur karier yang jelas, dan menawarkan pembelajaran serta pengembangan adalah langkah awal yang bisa dilakukan. 

Di atas semua itu, penting bagi perusahaan untuk membangun komunikasi yang lebih baik dan memahami hambatan yang dihadapi oleh pekerja mereka, dari segi transportasi, kesehatan, hingga masalah pengasuhan anak.

Dengan mengatasi masalah ini, bukan tidak mungkin masa depan pekerja bergaji rendah akan jauh lebih cerah. 

Ini bukan hanya tentang menambahkan nilai pada bisnis, tapi juga tentang membangun masyarakat yang lebih adil dan inklusif, di mana setiap pekerja, tidak peduli seberapa rendah upah mereka, dapat merasakan keamanan, stabilitas, dan memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang. 

Perubahan memang tidak akan terjadi dalam semalam, tapi dengan komitmen dan langkah konkret dari para pemangku kepentingan, kita dapat mengarahkan roda perubahan menuju arah yang lebih baik bagi semua.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama