Sebuah fakta merketing yang berlaku di mana-mana: Orang tidak suka iklan. 

Ya, mereka cepat melompati konten komersial pada tayangan yang telah direkam (bukan live streaming) dan bahkan mau membayar lebih untuk menghindarinya di layanan streaming

Apakah orang juga tidak suka ketika influencer yang mereka ikuti di media sosial mengunggah konten berbayar—endorsement untuk produk dimana mereka dibayar untuk mempromosikan? 

Sebuah studi baru mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Ulasan ini tayang di Harvard Business Review atau HBR, sebuah publikasi terkait manajemen dan bisnis.

Disebutkan, Shunyuan Zhang, seorang asisten profesor pemasaran di Harvard Business School, dan Magie Cheng, mahasiswa doktoral HBS, mengakui bahwa meskipun perusahaan mengalokasikan sebagian besar anggaran pemasaran mereka untuk konten berbayar di YouTube, Instagram, dan platform lainnya, namun masih sedikit penelitian yang mengukur efektivitas atau dampak keseluruhan pada influencer, pengikut, platform, dan merek. 

Ya, meskipun konten kreator biasanya sudah punya tool analitik yang bisa mengetahui pola pergerakan viewers-nya. 

Nah, untuk menyelidiki hal tersebut, para peneliti ini fokus pada interaksi antara influencer dan pengikut mereka. 

“Survei menunjukkan bahwa beberapa pengikut tidak suka konten berbayar, tetapi tidak ada bukti nyata,” kata Cheng, dikutip HBR. 

Influencer paham bahwa mungkin ada biaya/ongkos bagi mereka ketika membuat postingan berbayar, tetapi mereka tidak yakin seberapa besar.

Zhang dan Cheng mengidentifikasi 861 influencer berbahasa Inggris di YouTube dalam kategori kecantikan dan gaya hidup dan menganalisis 85.669 video yang mereka unggah dari Agustus 2019 hingga Agustus 2020. 

Mereka kemudian mengumpulkan data keterlibatan setiap video—berapa banyak orang yang menonton atau menyukainya—dan mencatat apakah konten itu berbayar. 

Mereka juga menganalisis informasi kualitatif, termasuk suara, emosi, dan penampilan influencer, serta estetika visual video. 

Mereka melacak jumlah pengikut setiap influencer sebelum dan setelah setiap video diunggah. 

Untuk mengisolasi efek konten berbayar, mereka membagi influencer menjadi dua kelompok—yang mengunggah setidaknya satu video promosi berbayar selama periode studi dan yang hanya mengunggah konten organik. 

Kemudian mereka memeriksa apa yang terjadi pada influencer setelah mengunggah video berbayar dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Hasil penelitian menemukan bahwa mengunggah video berbayar menyebabkan influencer kehilangan rata-rata 0,17% pengikutnya dalam tiga hari berikutnya. 

Jumlah ini mungkin terdengar kecil, namun seiring waktu jumlah ini bertambah: Seorang influencer dengan 1,5 juta pengikut yang mengunggah 150 postingan berbayar dalam setahun—rata-rata di antara influencer berbayar dalam studi—dapat kehilangan hingga 382.000 pengikut setiap tahun. Pengikut adalah indikator status di media sosial, bahkan bagi orang yang bukan influencer.

Saya sedikit menambahkan dari pengalaman pribadi mengelola media sosial Instagram sebuah media, ketika melakukan post konten berbayar memang jumlah follower berkurang, bahkan kadang sangat signifikan. Namun, ini juga dipengaruhi oleh karakteristik kontennya. Beberapa menghasilkan enggagement tinggi karena kontennya cenderung mirip konten organik.

Mengurangi Dampak Negatif

Selanjutnya, para peneliti mengatakan influencer seharusnya tidak sepenuhnya menghindari konten berbayar. Tetapi mereka harus strategis dalam memilih kemitraan; yang salah dapat mengurangi autentisitas mereka dan menyebabkan pengikut pergi. 

Ada tiga faktor yang mempengaruhi seberapa besar influencer dihukum karena promosi berbayar.

Pertama, influencer dengan pengikut besar mengalami dampak lebih besar daripada influencer yang kurang populer. Mereka kehilangan lebih banyak pengikut, mendapatkan lebih sedikit suka dan komentar, dan menerima proporsi komentar negatif yang lebih besar. 

Influencer dengan audiens lebih kecil seringkali membentuk ikatan yang lebih kuat,” kata para peneliti, “sehingga audiens mereka lebih terbuka terhadap konten berbayar.”

Kedua, konten berbayar kurang merugikan ketika produknya sesuai dengan jenis hal yang biasanya dipromosikan influencer dalam postingan tidak berbayar. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa isu serupa muncul ketika perusahaan menggunakan endorser selebriti: semakin dekat produk dengan area keahlian selebriti, semakin persuasif iklan bagi pemirsa dan semakin kecil kemungkinan mereka akan merasa terganggu.

Ketiga, postingan berbayar yang menampilkan merek besar dan terkenal memicu reaksi negatif yang lebih kuat daripada yang mempromosikan merek yang lebih kecil dan kurang terlihat. Para peneliti menunjukkan bahwa pengikut sering menghargai diperkenalkan kepada produk yang mungkin tidak mereka ketahui sebelumnya.

Temuan studi ini memiliki implikasi yang jelas bagi influencer. Dengan menyadari bahwa postingan berbayar dapat mengurangi pengikut, memahami berapa banyak yang kemungkinan akan pergi, dan memiliki kesadaran tentang faktor-faktor yang dapat mengurangi atau memperparah, influencer dapat membuat keputusan cerdas tentang seberapa sering menerima kesepakatan sponsorship, merek mana yang harus diendorse, dan berapa banyak yang harus dikenakan biaya. 

Mereka harus memilih produk yang cocok dengan kepribadian dan gaya presentasi mereka serta yang pengikut akan hargai. Mereka juga harus bertanya apakah pembayaran cukup besar untuk mengkompensasi reputasi yang terpengaruh.

Cheng mengatakan bahwa temuan-temuan tersebut mengkonfirmasi kekhawatiran anekdotal tentang konten berbayar yang dia dengar dari teman-teman influencernya, beberapa di antaranya mencari cara untuk mengatasi dampak negatifnya. 

“Setiap kali satu teman mengunggah video berbayar, dia segera mengikuti dengan konten asli untuk memberi penggemarnya sesuatu yang berkualitas tinggi untuk tetap mengikuti,” jelasnya, dikutip HBR edisi Mei-Juni 2023. 

Zhang memiliki beberapa influencer di antara mahasiswanya di MBA, salah satunya menyesali kesepakatan baru-baru ini setelah membaca penelitian. “Dia bilang, ‘Saya harap saya tahu semua ini sebelum menerima sponsorship itu,’” kata Zhang.

Merek juga dapat memanfaatkan temuan ini. Alih-alih memilih influencer dengan banyak pengikut, mereka mungkin bermitra dengan influencer yang kurang terkenal, yang pengikutnya kurang menanggapi negatif konten. 

Alasan lain untuk melakukannya adalah influencer yang lebih kecil biasanya mengenakan biaya lebih sedikit. Merek juga harus bekerja keras untuk menemukan influencer yang cocok dengan produk mereka.

Bagi platform, implikasinya kurang jelas. Platform seperti YouTube ingin menarik lebih banyak pengguna yang akan menghabiskan lebih banyak waktu di situs. 

Ketika orang bosan dengan konten berbayar dan memutuskan untuk berhenti mengikuti influencer, mereka mungkin mengalihkan waktu menonton ke video YouTube lainnya atau mungkin mengurangi waktu yang mereka habiskan di situs. 

Penelitian ini mungkin menandakan implikasi strategis yang lebih besar, catat Zhang. Dalam percakapan terbaru yang dia lakukan dengan perusahaan di China, di mana pemasaran influencer lebih matang daripada di banyak negara lain, termasuk Amerika Serikat, perusahaan tersebut khawatir terlalu mengandalkan influencer dan kegunaannya sebagai alat pemasaran mungkin berkurang jika perusahaan membanjiri media sosial dengan konten berbayar—kekhawatiran yang sah, katanya.

Zhang menyimpulkan penelitian mereka menimbulkan kekhawatiran tentang keberlanjutan pemasaran influencer dalam jangka panjang.

“Bentuk pemasaran ini bergantung pada reputasi influencer, jadi jika sponsor merusak reputasi tersebut, pertanyaannya adalah seberapa kuat perusahaan dapat terus mengambil keuntungan dari taktik ini.”

Nah, bagaimana dengan kalian, influencer, konten kreator atau pemilik brand?


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama